Wednesday, 11 June 2014

KOMUNITAS BUDDHIS

Sebelum agama Buddha muncul, pada waktu itu di India sebenarnya telah banyak sistem kepercayaan maupun aliran religius yang berkembang. Bahkan di dalam Brahmajala Sutta, Buddha menyebutkan terdapat enam puluh dua pandangan yang waktu itu berkembang di India. Dua di antara enam puluh dua pandangan tersebut, Brahmanisme dan Jainisme adalah dua aliran yang berkembang cukup pesat.

Semenjak Buddha membabarkan khotbah pertama, Dhammacakkapavattana Sutta, kepada lima orang petapa, semenjak itu pula agama Buddha mulai berkembang. Demikian juga dengan sistem kemasyarakatan dalam agama Buddha. Sedikit demi sedikit mulai terbentuk komunitas Buddhis.

Wednesday, 28 May 2014

SĪMĀ (Abaddha Sīmā)

Jenis sīmā yang kedua adalah abaddha sīmā, yaitu sīmā yang tidak tetap.Abaddha sīmā memiliki karakteristik yang berbeda dengan baddha sīmā.Abaddha sīmā tidak memerlukan prosedur pengukuhan sīmā seperti ketikan akan mengukuhkan baddha sīmā. Somdet Vajirañāṇavarorasa (1973) menyebutkan terdapat berbagai macam jenis abaddha sīmā, yaitu gāmasīmā, visuṅgāmasīmā, sattabbhantarasīmā, dan udakukkhepa.

Gāmasīmā
Gāmasīmā adalah sīmā yang dibatasi oleh beberapa desa atau beberapa kota (nigāma). Dalam kondisi tertentu bhikkhu Saṅgha berdiam di suatu wilayah yang mana bebas dari hak milik dengan batas desa dan kota. Tempat tersebut bisa saja digunakan sebagai sīmā yang sifatnya sementara. Jika wilayah tersebut telah disepakati sebagai gāmasīmā, maka para bhikkhu dapat melaksanakan uposatha bersama-sama dalam wilayah tersebut.

SĪMĀ (Baddha Sīmā)

Buddha memperkenankan Saṅgha untuk melakukan kegiatan-kegiatan khusus seperti pelaksanaan uposatha, pavārana, dan kegiatan saṅghakamma lainnya di tempat khusus yang disebut sebagai sīmā. Secara makna kata, sīmā berarti garis batas. Garis batas ini membentuk suatu bidang tertentu yang menjadi patokan bahwa para bhikkhu dapat dikatakan tinggal bersama. Garis batas (sīmā) terdiri dari dua jenis, yaitu baddha sīmā yang mana lebih dikenal sebagai garis batas yang dibentuk oleh Saṅgha dan bersifat tetap, dan abaddha sīmā yang merupakan garis batas tidak tetap karena ditetapkan oleh pemerintah atau pejabat-pejabat sipil. Pada bagian selanjutnya, materi ini akan membahas mengenai baddha sīmā.

Area dari Baddha Sīmā
Buddha memperkenankan Saṅgha untuk menetapkan suatu wilayah menjadi sebuah sīmā. Tetapi penetapan wilayah tersebut memiliki batas minimal dan batas maksimal dalam hal ukuran. Adapun batas ukuran minimal sebuah sīmā adalah harus mampu menampung sebanyak dua puluh satu orang bhikkhu. Sedangkan batasan maksimal sebuah sīmā adalah seluas tiga yojana. Sīmā yang lebih kecil atau lebih besar dari batas ukuran tersebut tidak dapat digunakan untuk melaksanakan kegiatan Saṅgha.

Monday, 19 May 2014

PENGHORMATAN (GARAVO)

Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Saṅgha) memiliki kedudukan yang tinggi bagi umat Buddha. Di dalam peraturan, para bhikkhu hendaknya menghormati Tiratana secara layak. Para bhikkhu tidak diperkenankan berbicara mengenai Tiratana secara main-main. Buddha, Dhamma, dan Saṅgha tidak diperkenankan dijadikan bahan pembicaraan untuk kesenangan semata.

Menceritakan sebuah dongeng karangan sendiri dengan menggunakan nama Buddha dan para bhikkhu siswa utama Buddha juga tidak diperkenankan. Hal ini diberlakukan untuk menghindari berkembangnya cerita-cerita yang tidak dapat sesuai mengenai kehidupan Buddha dan para siswa. Seorang bhikkhu juga tidak diperkenankan menceritakan kisah Buddha dan para siswa Buddha dengan cara yang tidak sopan. Jika seorang bhikkhu menceritakan kisah Buddha dan para siswa secara tidak sopan, hal itu dapat saja menghilangkan keyakinan umat Buddha terhadap ajaran Buddha yang sesungguhnya. Oleh karena itu, seorang bhikkhu hendaknya menceritakan kisah Buddha dengan cara yang layak sehingga dapat memperkuat keyakinan (saddhā) pendengarnya.

Sunday, 18 May 2014

PENTINGKAH MENGENALKAN BUDDHA DHAMMA KEPADA ANAK-ANAK?

Oleh: Rakay Sutamayapanna

Sebagai pemeluk agama Buddha, kita pasti ingin menjaga ajaran Buddha agar tetap bertahan dan berkembang. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan mengajarkan Buddha Dhamma kepada generasi penerus, misalnya kepada anak-anak kita. Cara ini dipandang lebih efektif karena orang tua dipandang sebagai sumber ilmu bagi anak-anak. Kepada orang tualah biasanya anak-anak bertanya tentang segala hal yang belum mereka mengerti.

PENTINGKAH MENGENALKAN BUDDHA DHAMMA KEPADA ANAK-ANAK?

Orang tua, ayah dan ibu, adalah guru pertama bagi anak-anaknya. Orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik anak-anaknya menjadi orang yang baik bijaksana. Dengan demikian, orang tua dapat mengajarkan prinsip-prinsip Buddha Dhamma dalam membimbing anaknya.

Saturday, 10 May 2014

KESABARAN TANPA BATAS

Oleh: Rakay Sutamayapanna

Khantī paramaṁ tapo titikkhā’ti.
Kesabaran, ketabahan adalah cara melatih batin tertinggi.
(Dhammapada, 184)

Dalam menjalani aktivitas sehari-hari, kita sering kali mengalami konflik secara internal maupun eksternal. Konflik internal yang dimaksud di sini adalah konflik dengan diri sendiri. Misalnya ketika kita telah memiliki target tertentu yang ingin diwujudkan, namun kemampuan diri sendiri belum memadai. Hal tersebut dapat menimbulkan kemarahan dan kekecewaan terhadap diri sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan konflik eksternal adalah permasalahan-permasalahan yang datang dari pihak luar. Misalnya masalah yang terjadi karena hubungan sosial yang kurang sehat.

Salah satu perasaan yang sering muncul ketika seseorang dihadapkan dengan konflik adalah kemarahan. Kemarahan adalah keadaan di mana seseorang tidak dapat mengendalikan dirinya karena kebencian yang meledak-ledak. Orang yang sedang dikuasai kemarahan bisa saja langsung menyerang lawannya secara fisik maupun verbal. Serangan secara fisik misalnya berupa penganiayaan, sedangkan secara verbal biasanya adalah dengan mengucapkan kata-kata kasar.

Friday, 9 May 2014

PENGUSAHA YANG TERLENA


Oleh: U Sikkhananda Andi Kusnadi

Dahulu kala ada seorang pengusaha yang sering berkelana dalam melakukan bisnisnya. Suatu ketika dia harus melalui sebuah hutan lebat untuk menuju tempat mitra bisnisnya. Ketika di dalam hutan dia bertemu seekor harimau yang lapar. Dia pun harus berlari untuk menyelamatkan dirinya dari harimau tersebut. Tentu saja bila dia terus berlari dia akan tertangkap karena harimau bisa berlari lebih cepat. Dia sangat beruntung karena melihat sebuah sumur tua dan ia segera memutuskan untuk melompat ke sumur tersebut. Sumur tersebut ternyata memang cukup dalam, tapi dia beruntung karena dia tersangkut di akar pohon besar yang keluar dari dinding sumur tersebut. Harimau yang mengejarnya mengaum di tepi bagian atas dinding sumur tersebut. Pengusaha tersebut berpikir betapa sangat beruntungnya dia karena dia telah selamat dari terkaman harimau.

Thursday, 8 May 2014

BUDDHISME THERĀVĀDA

Agama Buddha Theravada

Therāvāda adalah  salah satu kelompok yang muncul seiring dengan perkembangan Buddhasāsana. Therāvāda berasal dari dua kata, yaitu therā yang berati sesepuh dan vāda yang berarti ajaran. Dengan demikian Therāvāda memiliki pengertian sebagai ajaran para sesepuh. Para cendekiawan Buddhis sepakat bahwa ajaran Therāvāda banyak berisi ajaran-ajaran awal dari Buddha.

Dalam beberapa abad, Buddhisme Theravāda telah berkembang pesat di daerah benua Asia, khususnya Asia Selatan. Beberapa negara yang menjadi tempat berkembangnya Buddhisme Therāvāda adalah Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos, dan Sri Lanka. Sekarang Buddhisme Therāvāda juga mulai berkembang pesat di Eropa dan negara-negara Barat lainnya.

PACITTIYA

Pacittiya memiliki nama lain, yaitu suddhika pacittiya. Peraturan ini terdiri dari 92 peraturan yang dibagi menjadi 9 kelompok. Sembilan kelompok itu adalah:
  1. kelompok ucapan tidak benar (musāvāda vagga);
  2. kelompok mengenai tumbuh-tumbuhan (bhutagama vagga);
  3. kelompok mengajar (ovāda vagga);
  4. kelompok makanan (bhojana vagga);
  5. kelompok petapa telanjang (acelaka vagga);
  6. kelompok minuman keras (surāpāna vagga);
  7. kelompok makhluk hidup (sapāna vagga);
  8. kelompok yang sesuai dengan Dhamma (sahadhammika vagga)
  9. kelompok barang berharga (ratana vagga).

Penjelasan secara terperincinya adalah sebagai berikut.

Wednesday, 7 May 2014

NISSAGIYA PACITTIYA

Nissagiya Pacittiya adalah peraturan latihan yang jika dilanggar menyebabkan keadaan yang baik menjadi jatuh. Peraturan latihan ini terdiri dari 30 hal yang dibagi menjadi 3 kelompok. Secara garis besar, peraturan ini dapat disusun sebagai berikut:

Civara Vagga
1.
Menyimpan jubah ekstra lebih dari 10 hari.
6.
Meminta jubah kepada umat awam yang bukan sanak keluarganya.
2.
Terpisah dari ticivara dalam satu malam tanpa pertujuan sagha.
7.
Meminta jubah melebihi yang ditawarkan oleh umat awam.
3.
Menyimpan bahan yang akan dijadikan jubah lebih dari 1 bulan.
8.
Meminta bahan jubah dalam jumlah dan kualitas kain melebihi yang ditawarkan oleh umat awam secara kolektif.
4.
Meminta bhikkhūṇi yang bukan saudaranya untuk mencuci jubahnya.
9.
Meminta bahan jubah dalam jumlah dan kualitas kain melebihi yang ditawarkan oleh umat awam secara perseorangan.
5.
Menerima jubah dari tangan bhikkhūṇi yang bukan saudaranya. (Kecuali jika jubah itu ditukar).
10
Meminta lebih dari tiga kali dan berdiri di depan rumah lebih dari enam kali berkenaan dengan kapiya karaka (penyimpan dana uang bhikkhu) untuk memberi jubah dari uang yang disimpannya.


Tuesday, 6 May 2014

ANIYĀTA

Aniyāta berarti tidak tentu atau tidak pasti. Dalam hal ini, aniyāta menunjukkan pelanggaran yang dilakukan oleh para bhikkhu ataupun bhikkhūṇi di mana pelanggaran tersebut masih belum dapat ditentukan. Ada dua macam pelanggaran aniyāta.

1.      Seorang bhikkhu duduk bersama dengan seorang wanita, di tempat yang terhalang (sehingga orang lain tidak dapat melihat mereka berdua). Kemudian seorang umat awam wanita yang dapat dipercaya melaporkan kejadian tersebut, maka bhikkhu tersebut harus disidang berkenaan dengan pelanggaran parajika, saghadisesa, atau pacittiya.

2.      Seorang bhikkhu duduk bersama dengan seorang wanita, di tempat yang tidak terhalang namun berada jauh dari keramaian (sehingga orang lain tidak dapat mendengar perbincangan mereka). Kemudian seorang umat awam wanita yang dapat dipercaya melaporkan kejadian tersebut, maka bhikkhu tersebut harus disidang berkenaan dengan pelanggaran saghadisesa atau pacittiya.

Friday, 2 May 2014

KĀLIKA

Kālika memiliki pengertian sebagai semua hal yang dapat ditelan. Dari pengertian tersebut, secara spesifik kālika mengacu kepada semua jenis makanan. Secara umum, makanan dapat saja berupa makanan padat maupun lunak, makanan yang mengenyangkan maupun makanan ringan, makanan yang tidak perlu diolah maupun hasil olahan. Dalam hal ini, semua jenis makanan itu disebut sebagai kālika.

Para bhikkhu tidak dapat mengkonsumsi semua jenis makanan pada waktu yang sembarangan. Semua jenis makanan tersebut memiliki batasan waktu untuk dapat dikonsumsi oleh para bhikkhu. Dalam peraturan kehidupan bhikkhu mengenai kālika, terdapat empat klasifikasi makanan yang dapat dikonsumsi berdasarkan batasan waktunya. Empat klasifikasi tersebut terdiri dari yāvakālika, yāmakālika, satthāhakālika, dan yāvajīvika.

Sunday, 20 April 2014

SIKKHĀPADASUTTAṀ

Sutta tentang Empat Jenis Individu yang Berlatih
AN 4.99
 Lihat dalam versi bahasa Inggris atau Pāḷi
-----------------------------------------------------------------------------------

"Para bhikkhu, terdapat empat jenis individu yang dapat ditemukan yang di dunia. Apakah yang empat itu? Orang yang berlatih untuk kepentingannya sendiri tetapi tidak untuk orang lain. Orang yang berlatih untuk kepentingan orang lain tetapi tidak untuk dirinya sendiri. Orang yang berlatih tidak untuk kepentingannya sendiri maupun orang lain. Orang yang berlatih untuk kepentingannya sendiri dan untuk orang lain.”

Wednesday, 16 April 2014

PERATURAN BHIKKHU TENTANG UPPATHAKIRIYĀ

Bhikkhu senantiasa harus menjaga hubungan baik dengan
umat awam melalui cara yang pantas.
Seorang yang telah mengambil jalan hidup tidak berumah-tangga hendaknya selalu menjaga perilakunya. Salah satu bagian yang memuat peraturan bagi bhikkhu, bhikkhūṇi, samaṇerā, dan samaṇeri untuk menjaga perilakunya adalah peraturan tentang uppathakiriyā. Peraturan tersebut berisi tentang perilaku-perilaku salah yang tidak pantas dilakukan oleh para pabbajjita.

Uppathakiriyā dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu anācāra, pāpasamācāra, dan anesanā. Anācāra berisi berbagai jenis perilaku salah dan segala macam permainan yang tidak pantas dilakukan. Pāpasamācāra adalah bagian yang berisi tentang berbagai macam perilaku rendah. Sedangkan anesanā adalah bagian yang memuat mata-pencaharian yang salah atau cara memperoleh kebutuhan yang salah.

Wednesday, 26 March 2014

PERATURAN BHIKKHU TENTANG TUGAS-TUGAS (VATTA)


Pengertian Vatta
PERATURAN BHIKKHU TENTANG TUGAS-TUGAS (VATTA)
Para bhikkhu memiliki tugas-tugas
yang harus diselesaikan.
Dalam kehidupan sehari-hari, para bhikkhu memiliki tugas-tugas yang harus dikerjakan. Dalam Kanon Pāḷi, terdapat satu bagian yang memuat keterangan dari tugas-tugas yang harus dilakukan oleh para bhikkhu. Bagian itu disebut sebagai vatta. Dengan demikian, vatta adalah kumpulan berbagai petunjuk tentang tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh bhikkhu yang disesuaikan antara waktu, tempat, jenis tugas, dan orang yang melaksanakan tugas.

Selain menjaga peraturan kemoralan (sīlasampanno), seorang bhikkhu juga harus melaksankan tugas-tugas (vatta) dengan baik. Jika seorang bhikkhu melaksanakan tugas-tugas (vatta) dengan baik, maka bhikkhu tersebut layak dihormati. Bhikkhu yang melaksanakan tugas dengan baik biasanya mendapat sebutan sebagai ācārasampanno, yang artinya seseorang yang berperilaku baik. Selain itu, bhikkhu tersebut juga bisa dikatakan sebagai vattasampano atau seseorang yang yang telah melakukan tugas-tugas dengan baik. Oleh karena itu, pelaksanaan vatta ini juga menunjang para bhikkhu dalam merawat sīla.

Tuesday, 25 March 2014

SIKKHĀPADASUTTA PĀḶI (AN 4.99)

“Cattārome, bhikkhave, puggalā santo saṁvijjamānā lokasmiṁ. Katame cattāro? Attahitāya paṭipanno no parahitāya, parahitāya paṭipanno no attahitāya, nevattahitāya paṭipanno no parahitāya, attahitāya ceva paṭipanno parahitāya ca.

Kathañca, bhikkhave, puggalo attahitāya paṭipanno hoti, no parahitāya? Idha, bhikkhave, ekacco puggalo attanā pāṇātipātā paṭivirato hoti, no paraṁ pāṇātipātā veramaṇiyā samādapeti; attanā adinnādānā paṭivirato hoti, no paraṁ adinnādānā veramaṇiyā samādapeti; attanā kāmesumicchācārā paṭivirato hoti, no paraṁ kāmesumicchācārā veramaṇiyā samādapeti; attanā musāvādā paṭivirato hoti, no paraṁ musāvādā veramaṇiyā samādapeti; attanā surāme­raya­majja­pamā­daṭṭhānā paṭivirato hoti, no paraṁ surāme­raya­majja­pamā­daṭṭhānā veramaṇiyā samādapeti. Evaṁ kho, bhikkhave, puggalo attahitāya paṭipanno hoti, no parahitāya.

Kathañca, bhikkhave, puggalo parahitāya paṭipanno hoti, no attahitāya? Idha, bhikkhave, ekacco puggalo attanā pāṇātipātā appaṭivirato hoti, paraṁ pāṇātipātā veramaṇiyā samādapeti; attanā adinnādānā appaṭivirato hoti, paraṁ adinnādānā veramaṇiyā samādapeti; attanā kāmesumicchācārā appaṭivirato hoti, paraṁ kāmesumicchācārā veramaṇiyā samādapeti; attanā musāvādā appaṭivirato hoti, paraṁ musāvādā veramaṇiyā samādapeti; attanā surāme­raya­majja­pamā­daṭṭhānā appaṭivirato hoti, paraṁ surāme­raya­majja­pamā­daṭṭhānā veramaṇiyā samādapeti. Evaṁ kho, bhikkhave, puggalo parahitāya paṭipanno hoti, no attahitāya.

Kathañca, bhikkhave, puggalo nevattahitāya paṭipanno hoti no parahitāya? Idha, bhikkhave, ekacco puggalo attanā pāṇātipātā appaṭivirato hoti, no paraṁ pāṇātipātā veramaṇiyā samādapeti … pe … attanā surāme­raya­majja­pamā­daṭṭhānā appaṭivirato hoti, no paraṁ surāme­raya­majja­pamā­daṭṭhānā veramaṇiyā samādapeti. Evaṁ kho, bhikkhave, puggalo nevattahitāya paṭipanno hoti, no parahitāya.

Kathañca, bhikkhave, puggalo attahitāya ceva paṭipanno hoti parahitāya ca? Idha, bhikkhave, ekacco puggalo attanā ca pāṇātipātā paṭivirato hoti, parañca pāṇātipātā veramaṇiyā samādapeti … pe … attanā ca surāme­raya­majja­pamā­daṭṭhānā paṭivirato hoti, parañca surāme­raya­majja­pamā­daṭṭhānā veramaṇiyā samādapeti. Evaṁ kho, bhikkhave, puggalo attahitāya ceva paṭipanno hoti parahitāya ca. Ime kho, bhikkhave, cattāro puggalā santo saṁvijjamānā lokasmin”ti.

Friday, 21 March 2014

PERATURAN BHIKKHU TENTANG NISSAYA

Pada periode awal Saṅgha terbentuk, jumlah bhikkhu tidak begitu banyak. Hal tersebut menyebabkan sangat mudah untuk dapat mengontrol perilaku para bhikkhu. Namun, seiring dengan bertambahnya jumlah bhikkhu, maka mulai muncul berbagai macam kesulitan untuk mengawasi perilaku dari bhikkhu yang masih baru ditahbiskan. Oleh karena itu, Buddha memperkenankan peraturan nissaya bagi para bhikkhu.

PERATURAN BHIKKHU TENTANG NISSAYA
Para bhikkhu sedang memohon nissaya
Pengertian Nissaya
Terdapat tiga tingkatan bhikkhu jika dikelompokkan menurut masa waktu lamanya seseorang ditahbiskan menjadi bhikkhu atau menjalani hidup sebagai pabbajjita. Tingkat pertama adalah seorang bhikkhu yang baru ditahbis sampai dengan menjalani kurang dari lima vassa, ia disebut sebagai navaka bhikkhu atau bhikkhu yang masih baru atau masih muda. Kelompok kedua adalah majjhīma bhikkhu, yaitu bhikkhu yang menjalani lima vassa sampai kurang dari sepuluh vassa. Kelompok yang terakhir adalah thera yang berarti yang patut dicontoh atau sesepuh. Bhikkhu yang berada pada kelompok thera ini adalah bhikkhu yang minimal telah menjalani sepuluh vassa.

Wednesday, 12 March 2014

PERATURAN BHIKKHU TENTANG CARA MENGATUR PENGGUNAAN ALAT-ALAT KEBUTUHAN (PARIKKHĀRA) Bagian 2

Alat-alat kebutuhan bhikkhu tidak hanya terbatas sampai pada jubah (cīvara) saja. Setelah tiga jenis jubah, alat-alat kebutuhan bhikkhu yang lainnya adalah nisīdana (kain duduk); patta (mangkok); seperangkat jarum dan benang, ikat pinggang, dan saringan air. Berikut ini pembahasan secara lanjut mengenai alat-alat kebutuhan bhikkhu.

Mangkok (Patta)


Patta (mangkok) bhikkhu
Patta (mangkok) bhikkhu
Mangkok adalah salah satu alat kebutuhan yang wajib dimiliki oleh seorang bhikkhu. Seseorang yang ingin di-upasampadā (ditahbiskan menjadi bhikkhu) hendaknya telah memiliki patta atau mangkok. Ada dua jenis mangkok yang diperkenankan oleh Buddha, yaitu mangkok yang terbuat dari tanah liat dan besi.


Ada sebelas jenis mangkok yang tidak diperkenankan oleh Buddha. Kesebelas jenis mangkok tersebut adalah mangkok yang terbuat dari emas, perak, batu permata, batu berharga, mutiara, gelas kaca, tembaga, kuningan, timah, seng, dan kayu. Mangkok dari emas dan perak tidak diperbolehkan karena tidak pantas digunakan oleh bhikkhu. Mangkok dari batu permata, batu berharga, dan yang dihias dengan mutiara, juga tidak cocok digunakan oleh bhikkhu. Mangkok dari gelas kaca akan mudah pecah dan membahayakan hidup bhikkhu jika sampat pecahan itu tertelan. Mangkok dari tembaga, kuningan, timah, dan seng akan beroksidasi jika terkena makanan yang bersifat asam sehingga meningkatkan kadar racun dalam makanan. Mangkok dari kayu juga dilarang karena mangkok dari kayu akan susah dibersihkan. Bahkan sisa makanan bisa meresap ke dalam pori-pori kayu dan menyebabkan jamur serta racun.

Tuesday, 11 March 2014

TIPIṬAKA

Kitab Suci Agama Buddha

TIPIṬAKA

Sutta Pitaka, Vinaya Pitaka, Abhidhamma Pitaka, Tipitaka
Kumpulan TIPIṬAKA


Tipiṭaka terdiri dari dua kata, yaitu “Ti” yang berarti tiga dan “piṭaka” yang berarti keranjang. Tipiṭaka berbasis kepada Pāḷi Kanon yang digunakan oleh tradisi Buddhisme Theravāda. Keseluruhan teks Tipiṭaka beserta komentarnya, membentuk sekumpulan teks Tipiṭaka klasik Theravāda.


Tiga bagian Tipiṭaka adalah tersebut adalah:

Vinaya Piṭaka
Vinaya Piṭaka merupakan kumpulan teks yang membahas aturan perilaku atau sikap para bhikkhu, bhikkhūṇi, sāmaṇera, dan sāmaṇeri sebagai anggota komunitas Saṅgha. Vinaya Piṭaka tidak hanya mencantumkan aturan-aturan bagi para pabbajjitā, tetapi juga kisah atau latar belakang terbentuknya setiap aturan. Vinaya Piṭaka disusun untuk mengumpulkan penyelesaian masalah yang dilakukan oleh Buddha untuk menjaga kelestarian Saṅgha.

Sutta Piṭaka
Sutta Piṭaka merupakan kumpulan khotbah Buddha dan para siswa Buddha. Sutta Piṭaka dikelompokkan menjadi lima bagian. Kelima bagian itu adalah Dīgha Nikāya; Majjīma Nikāya; Saṁyutta Nikāya; Aṅguttāra Nikāya; dan Khuddaka Nikāya.

Abhidhamma Piṭaka
Abhidhamma Piṭaka merupakan kumpulan doktrin Buddha yang berhubungan dengan analisis terperinci mengenai citta, cetasika, rūpa, nibbāna. Semua itu dijelaskan secara mendalam dan terperinci.

Wednesday, 5 March 2014

PERATURAN BHIKKHU TENTANG CARA MENGATUR PENGGUNAAN ALAT-ALAT KEBUTUHAN (PARIKKHĀRA) Bagian 1

Kehidupan seorang bhikkhu harus ditunjang oleh alat-alat kebutuhan bhikkhu. Alat-alat kebutuhan tersebut memiliki istilah parikkhāra. Adapun hal-hal yang dimaksud sebagai parikkhāra adalah tiga macam jubah (cīvara), kain untuk duduk (nisīdana), mangkok (patta), seperangkat jarum dan benang, ikat pinggang, dan saringan air. Total keseluruhan terdapat delapan hal yang menjadi alat kebutuhan bhikkhu. Peralatan-peralatan itu disebut sebagai atthāparikkhāra. Ketika seseorang hendak ditahbiskan menjadi bhikkhu, ia harus memiliki delapan peralatan tersebut.

Jubah (Cīvara)
ensiklopedia-buddhadhamma.blogspot.com
Jubah bhikkhu.
Seseorang yang hendak ditahbiskan menjadi bhikkhu harus memiliki peralatan jubah secara lengkap. Peralatan jubah yang lengkap terdiri dari tiga jenis jubah. Pertama adalah jubah dalam (antaravāsaka) yang dipakai menutupi bagian tubuh dari pinggang ke bawah. Selanjutnya jubah luar (uttarāsaṅga), jubah ini dipakai menutupi seluruh tubuh dari bahu sampai kaki. Terakhir adalah jubah lapis (saṅghāṭi) yang merupakan jubah dengan dua lapisan kain yang dapat dipakai pada musim dingin.

Pada mulanya, jubah yang dikenakan oleh para bhikkhu hanya terdiri dari dua jenis jubah, yaitu jubah dalam dan jubah luar. Setelah beberapa periode waktu, Buddha kemudian memperkenankan penggunaan jubah lapis sebagai pelengkap jubah bagi bhikkhu. Hal ini disebabkan pada waktu malam hari di musim dingin, udara terasa sangat dingin. Oleh karena itu, Buddha kemudian memperkenankan penggunaan jubah lapis untuk digunakan sebagai pelindung tubuh bagi para bhikkhu.

Thursday, 27 February 2014

PERATURAN BHIKKHU TENTANG CARA MENGATUR BADAN JASMANI

ensiklopedia-buddhadhamma.blogspot.com
Achan Mun, bhikkhu yang terkenal
dengan kesederhanaannya.
Tujuan utama kehidupan seorang bhikkhu adalah untuk mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi. Namun, dalam proses pencapaian spiritual tersebut, tentu dibutuhkan banyak faktor pendukung. Salah satunya adalah bagaimana para bhikkhu dapat mengatur perilaku dan badan jasmaninya. Oleh karena itu, para bhikkhu memiliki peraturan-peraturan khusus untuk merawat fisik atau badan jasmaninya. Adapun peraturan-peraturan tersebut dikemukakan dalam penjelasan di bawah ini.

Rambut Kepala
Para bhikkhu tidak diperkenankan memelihara rambut kepala. Rambut kepala tidak diperbolehkan tumbuh lebih dari dua bulan, atau melebihi dua inchi atau dua jari panjangnya. Terdapat dua hal yang perlu dicermati dalam peraturan ini. Pertama, para bhikkhu harus mencukur rambutnya sebelum lewat dari dua bulan, meskipun rambutnya belum sepanjang dua inchi atau dua jari. Kedua, meskipun belum lewat dua bulan, namun rambut telah tumbuh sepanjang dua inchi atau dua jari, maka rambut juga harus dicukur.

Friday, 21 February 2014

PENGERTIAN DAN MANFAAT VINAYA


ensiklopedia-buddhadhamma.blogspot.com
Bhikkhu
Manusia dikenal sebagai makhluk yang memiliki akhlak mulia. Tentu hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari segi moralitas. Menurut Bertens, moral berasal dari bahasa Latin ”mos” yang berarti kebiasaan, adat (K. Bertens, 2002: 4). Sedangkan Rachels menyatakan bahwa moralitas setidak-tidaknya merupakan usaha untuk membimbing tindakan seseorang dengan akal (Rachels, 2008: 40). Jadi moralitas sangat penting dalam kehidupan manusia.

Dengan adanya moralitas, seseorang dapat menentukan perbuatan mana yang baik dan perbuatan mana yang buruk. Moralitas adalah kualitas yang terkandung di dalam perbuatan manusia, yang dengannya kita dapat menilai perbuatan itu benar atau salah, baik atau jahat (Sumaryono, 2012: 51). Oleh karena itu, moralitas adalah hal yang paling mendasar dalam perilaku manusia.

Thursday, 20 February 2014

ABHISAMĀCARA


http://ensiklopedia-buddhadhamma.blogspot.com/
Ilustrasi bhikkhu.
Pada masa pembabaran Dhamma oleh Buddha, perkembangan komunitas bhikkhu (Saṅgha) berlangsung sangat pesat. Hal tersebut menyebabkan peraturan-peraturan perlu disusun untuk mengendalikan perilaku para bhikkhu. Peraturan para bhikkhu yang ditetapkan oleh Buddha tersebut lebih dikenal sebagai pāṭimokkhā.

Pāṭimokkhā terdiri dari dua jenis. Awalnya Buddha hanya memberikan wejangan berupa ovādapāṭimokkhā yang merupakan intisari dari ajaran Buddha. Ovādapāṭimokkhā terdiri atas tiga syair dan syair tersebut yang menjadi landasan peraturan bagi para bhikkhu selama dua puluh tahun pertama masa pembabaran Dhamma oleh Buddha.

Seiring dengan perkembangan Saṅgha, terdapat perbedaan yang cukup mencolok dalam perilaku para bhikkhu. Oleh karena itu, Buddha menetapkan peraturan-peraturan yang yang lebih detail. Peraturan tersebut dikenal sebagai anāpāṭimokkhā. Hal yang paling penting untuk diketahui, penetapan anāpāṭimokkhā oleh Buddha adalah setelah terjadinya penyimpangan perilaku bhikkhu terhadap praktik Dhamma.