Bhikkhu |
Dengan
adanya moralitas, seseorang dapat menentukan perbuatan mana yang baik dan
perbuatan mana yang buruk. Moralitas adalah
kualitas yang terkandung di dalam perbuatan manusia, yang dengannya kita dapat
menilai perbuatan itu benar atau salah, baik atau jahat (Sumaryono, 2012: 51). Oleh karena itu,
moralitas adalah hal yang paling mendasar dalam perilaku manusia.
Dalam
agama Buddha, moralitas sering disebut sebagai sīla. Istilah sīla memiliki
beberapa arti, yaitu (1) sifat, karakter, watak, kebiasaan, perilaku, kelakuan;
dan (2) latihan moral, pelaksanaan moral, perilaku baik, etika Buddhis, dan
kode moralitas (Rashid, 1997: 3). Sedangkan menurut Mingun Sayadaw, sīla bisa juga diartikan sebagai
kebajikan (Mingun Sayadaw, 2008: 3239). Dengan demikian, kemoralan merupakan suatu kehendak,
corak batin, pengendalian, dan keadaan tidak melanggar aturan, yang
menghantarkan pada perilaku seseorang ke arah yang baik.
Literatur
Buddhadhamma menjelaskan sīla secara
lengkap yang tertuang dalam Vinaya Piṭaka. Vinaya Piṭaka berisi tentang peraturan-peraturan, latihan, disiplin, dan
tradisi keviharaan para pabbajita. Selain itu,
Vinaya Piṭaka juga memberikan penjelasan moralitas bagi umat awam. Dengan
demikian, istilah vinaya digunakan untuk menunjukkan peraturan yang
dilaksanakan untuk pabbajita dan gharavasa.
Secara harfiah, vinaya berarti mengusir, melenyapkan,
memusnahkan segala perilaku yang menghalangi kemajuan dalam peningkatan batin. Dengan demikian, vinaya juga bisa diartikan sebagai sesuatu
yang membimbing keluar dari saṁsara. Tujuan pelaksanaan vinaya adalah untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang
merugikan.
Hubungan Vinaya dengan Dhamma
Vinaya dan dhamma tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Terdapat
suatu ungkapan yang menyatakan bahwa, “Vinaya merupakan nafas dari ajaran Buddha,
selama vinaya masih ada, ajaran Buddha akan tetap ada. Karena itu,
marilah kita ucapkan vinaya terlebih dahulu.” Hal
ini bukan berarti vinaya lebih penting daripada dhamma karena
keduanya saling mendukung satu sama lain.
Suatu analogi yang dapat diterima adalah analogi
yang dikemukakan oleh Rashid, bahwa “Mengajarkan dhamma
tanpa vinaya, sama artinya dengan mengajarkan jalan tanpa
menunjukkan bagaimana cara memulai dan menempuhnya. Mengajarkan vinaya tanpa dhamma,
hanya merupakan peraturan kosong yang sedikit manfaatnya.” (Rashid, 1997: 27).
Dengan demikian, dhamma dan vinaya
tidak dapat dipisahkan. Dhamma diibaratkan seperti bunga, dan vinaya
adalah tali yang digunakan untuk mengikat bunga tersebut agar tidak mudah
terurai. Demikianlah dhamma dan vinaya saling mendukung satu sama
lain.
Namun dalam pelaksanaan vinaya terdapat dua
komplikasi, yaitu mereka yang membabi buta terhadap vinaya dan yang
tidak taat. Bagi orang-orang yang tidak taat dan tidak bersungguh-sungguh
melaksanakan vinaya akan menyebabkan kesukaran untuk mengendalikan bhikkhu
Saṅgha. Sedangkan orang yang membabi buta dalam melaksanakan vinaya,
justru tidak akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan.
Pelaksanaan vinaya haruslah seimbang dengan
menerapkan Jalan Tengah. Pelaksanaan vinaya secara benar dan yang disertai dengan
kebijaksanaan akan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan. Sedangkan pelaksanaan
vinaya dengan “kesungguhan yang salah” atau membabi buta
hanya akan mengakibatkan kejengkelan, kegelisahan, dan ketegangan.
Adapun manfaat pelaksanaan vinaya yang
pernah disebutkan oleh Buddha adalah:
- Kebaikan Saṅgha.
- Kesejahteraan Saṅgha.
- Mengendalikan bhikkhu
yang tidak teguh.
- Kesejahteraan bhikkhu
yang berkelakuan baik.
- Mencegah timbulnya kilesa
yang baru.
- Melindungi diri atau
melenyapkan kilesa yang ada.
- Memuaskan mereka yang
belum puas dengan dhamma.
- Menambah keyakinan
yang telah mendengar dhamma.
- Menegakkan dhamma yang benar.
- Manfaat vinaya itu sendiri.
No comments:
Post a Comment