Ilustrasi bhikkhu. |
Pāṭimokkhā terdiri dari dua jenis. Awalnya Buddha hanya memberikan wejangan berupa ovādapāṭimokkhā yang merupakan intisari dari ajaran Buddha. Ovādapāṭimokkhā terdiri atas tiga syair dan syair tersebut yang menjadi landasan peraturan bagi para bhikkhu selama dua puluh tahun pertama masa pembabaran Dhamma oleh Buddha.
Seiring dengan perkembangan Saṅgha, terdapat perbedaan yang cukup mencolok dalam perilaku para bhikkhu. Oleh karena itu, Buddha menetapkan peraturan-peraturan yang yang lebih detail. Peraturan tersebut dikenal sebagai anāpāṭimokkhā. Hal yang paling penting untuk diketahui, penetapan anāpāṭimokkhā oleh Buddha adalah setelah terjadinya penyimpangan perilaku bhikkhu terhadap praktik Dhamma.
Setelah mahāparinibbāna Buddha, penyusunan peraturan dan khotbah Buddha secara sistematis dirasakan sangat perlu. Tujuannya adalah untuk memelihara kelestarian ajaran Buddha. Dengan demikian, konsili-konsili atau saṅghayāna harus dipandang sebagai usaha untuk melestarikan Dhammavinaya.
Pengertian Abhisamācara
Sumber utama peraturan para bhikkhu adalah Vinaya Piṭaka. Di dalamnya terdapat seluruh peraturan pāṭimokkhā, baik ovādapāṭimokkhā maupun anāpāṭimokkhā. Namun, perkembangan zaman menyebabkan perlu dirumuskan peraturan-peraturan bagi para bhikkhu yang belum tercantum dalam pāṭimokkhā.
Peraturan-peraturan yang berada di luar ovādapāṭimokkhā dan anāpāṭimokkhā inilah yang disebut sebagai abhisamācara. Abhisamācara berasal dari kata abhi yang berarti tinggi atau luhur, dan samācara yang berarti cara yang benar. Dengan demikian, abhisamācara adalah peraturan di luar pāṭimokkhā yang berisi tentang petunjuk yang mengarahkan pada perilaku luhur.
Meskipun abhisamācara adalah peraturan di luar pāṭimokkhā, penyusunannya tetap mengacu pada pāṭimokkhā. Dengan demikian, peraturan ini juga memberikan manfaat yang besar bagi para bhikkhu untuk mengatur perilakunya. Abhisamācara memberikan petunjuk yang cukup detail mengenai bagaimana para bhikkhu mengatur perilakunya sehingga tetap dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Penyusunan Abhisamācara
Tidak seperti pāṭimokkhā, abhisamācara tidak memiliki jumlah yang pasti. Namun abhisamācara disusun berdasarkan tugas-tugas dan objeknya. Misalnya tugas-tugas yang berhubungan dengan hari uposaṭha, disusun dalam uposaṭhakhandhaka. Sedangkan peraturan yang berhubungan dengan jubah sebagai objek, maka disusun dalam cīvarakhandhaka.
Abhisamācara disusun dalam dua jenis. Pertama abhisamācara yang berisi peraturan yang berkenaan dengan hal-hal yang diperkenankan (diperbolehkan). Ciri-cirinya, peraturan ini adalah peraturan yang menimbulkan keuntungan bagi para bhikkhu. Misalnya seorang bhikkhu diperkenankan untuk menutup pintu kūṭi ketika sedang beristirahat. Hal tersebut adalah untuk mencegah pencuri atau makhluk-makhluk seperti hewan pengganggu memasuki kūṭi sehingga mengganggu bhikkhu tersebut.
Jenis yang kedua adalah abhisamācara yang berisi peraturan yang berkenaan dengan hal-hal yang tidak diperkenankan (dilarang). Ciri-ciri peraturan tersebut adalah melarang bhikkhu melakukan tindakan yang tidak pantas. Misalnya saja seorang bhikkhu tidak diperkenankan melakukan aktivitas permainan atau kompetisi dalam bentuk apapun.
Pelaksanaan Abhisamācara
Abhisamācara harus dilaksanakan dengan baik seperti halnya menjaga pāṭimokkhā. Abhisamācara harus dilaksanakan dengan cermat, sehingga semua tugas bagi para bhikkhu dapat dilaksanakan dengan baik. Karena abhisamācara adalah peraturan di luar pāṭimokkhā, bukan berarti pelaksanaan abhisamācara tidak membawa manfaat yang besar.
Abhisamācara memberikan petunjuk yang cukup detail tentang bagaimana para bhikkhu mengatur perilakunya. Para bhikkhu dapat menyesuaikan diri sesuai peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dengan berpedoman pada abhisamācara. Melihat perilaku yang baik dari para bhikkhu, akan menambah keyakinan umat Buddha terhadap Buddhadhamma.
Seorang bhikkhu yang tidak berperilaku sesuai dengan abhisamācara akan menyebabkan terlanggarnya tradisi yang baik dari para bhikkhu. Pelanggaran yang sedikit terhadap abhisamācara memang tidak akan membawa efek negatif yang besar. Efek tersebut mungkin hanya berupa celaan atau cemoohan saja. Tetapi jika pelanggaran terjadi dalam jumlah yang banyak terhadap abhisamācara dan dilakukan dengan sengaja, maka perilaku tersebut akan merendahkan martabat para bhikkhu dan mempermalukan tradisi yang baik dari para bhikkhu yang baik. Dengan demikian, hendaknya seorang bhikkhu dapat mengatur perilakunya sesuai dengan abhisamācara dan pāṭimokkhā sebagai satu kesatuan utuh dari pelaksanaan vinaya.
Referensi
Vajirañāṇavarorasa, Somdet Phra Mahā Samaṇa Chao Krom Phrayā. 1973. The Entrance to The Vinaya, Vinayamukha Volume Two. Bangkok: Mahāmakut Rājavidyālaya Press.
Referensi
Vajirañāṇavarorasa, Somdet Phra Mahā Samaṇa Chao Krom Phrayā. 1973. The Entrance to The Vinaya, Vinayamukha Volume Two. Bangkok: Mahāmakut Rājavidyālaya Press.
No comments:
Post a Comment