Achan Mun, bhikkhu yang terkenal dengan kesederhanaannya. |
Tujuan utama kehidupan seorang bhikkhu adalah untuk mencapai tingkat
spiritualitas yang lebih tinggi. Namun, dalam proses pencapaian spiritual
tersebut, tentu dibutuhkan banyak faktor pendukung. Salah satunya adalah
bagaimana para bhikkhu dapat mengatur
perilaku dan badan jasmaninya. Oleh karena itu, para bhikkhu memiliki peraturan-peraturan khusus untuk merawat fisik
atau badan jasmaninya. Adapun peraturan-peraturan tersebut dikemukakan dalam
penjelasan di bawah ini.
Rambut
Kepala
Para
bhikkhu tidak diperkenankan
memelihara rambut kepala. Rambut kepala tidak diperbolehkan
tumbuh lebih dari dua bulan, atau melebihi dua inchi atau dua jari panjangnya.
Terdapat dua hal yang perlu dicermati dalam peraturan ini. Pertama, para bhikkhu harus mencukur rambutnya sebelum
lewat dari dua bulan, meskipun rambutnya belum sepanjang dua inchi atau dua
jari. Kedua, meskipun belum lewat dua bulan, namun rambut telah tumbuh
sepanjang dua inchi atau dua jari, maka rambut juga harus dicukur.
Peraturan mengenai batas waktu mencukur
rambut ini muncul karena ada beberapa larangan. Pertama, terdapat larangan bagi
seorang bhikkhu untuk menata
rambutnya sedemikian rupa dengan cara menyisir rambut (baik dengan sisir atau
dengan jari-jari). Selain itu bhikkhu
juga dilarang menata rambut dengan mengolesi rambutnya dengan menggunakan
minyak rambut. Seorang bhikkhu yang
tidak dalam keadaan sakit juga tidak boleh memotong rambutnya dengan
menggunakan gunting. Dengan demikian, alat yang diperkenankan hanyalah pisau
cukur. Yang terakhir, seorang bhikkhu
juga tidak diperkenankan mencabut uban yang tumbuh di kepalanya.
Kumis
dan Jenggot
Petapa yang memelihara jenggot dan kumis. |
Para
bhikkhu tidak diperkenankan
memelihara kumis maupun jenggot. Meskipun demikian,
peraturan ini kurang memiliki batasan yang jelas mengenai panjangnya kumis
maupun jenggot yang harus dicukur. Namun demikian, peraturan ini hendaknya
dipandang sebagai petunjuk agar para bhikkhu
berpenampilan yang bersih dan rapi.
Penafsiran lain dari peraturan ini
adalah karena adanya tradisi dari petapa-petapa tradisi lain. Kebanyakan petapa
dari tradisi lain, memelihara jenggot dan kumisnya hingga tumbuh cukup panjang.
Ketika kumis dan jenggotnya telah panjang, petapa-petapa tersebut biasanya
menata jenggot dan kumisnya sedemikian rupa sehingga membentuk model atau gaya
tertentu.
Kuku
Terdapat
larangan bahwa bhikkhu tidak
diperkenankan memeliharan kuku untuk dipanjangkan.
Kuku jari tangan maupun jari kaki harus senantiasa dipotong jika telah mulai
panjang. Jika kuku tersebut kotor, bhikkhu
tetap boleh membersihkan kukunya sampai bersih dengan cara yang wajar.
Jika mengacu pada peraturan yang
mendasar, seorang pabbajita tidak
diperkenankan bersolek atau berdandan. Dengan demikian, para bhikkhu juga tidak diperkenankan untuk
menata kukunya dengan cara dipoles sehingga kuku tampak mengkilap. Tidak
diperkenankan pula mewarnai kuku dengan bahan-bahan pewarna.
Rambut
pada Bagian Tertentu
Rambut
pada lubang hidung tidak boleh dibiarkan panjang sampai keluar dari lubang
hidung. Para bhikkhu
harus memotong atau mencabut rambut yang panjangnya sampai keluar dari lubang
hidung. Meskipun dalam ilmu pengetahuan dijelaskan bahwa rambut pada lubang
hidung bermanfaat untuk menyaring udara yang dihirup, rambut hidung yang keluar
tidaklah pantas dipelihara. Dengan demikian, peraturan ini adalah untuk menjaga
agar rambut hidung tidak sampai terlalu panjang.
Rambut
dibagian-bagian tertentu, seperti dibagian tubuh yang tertutup jubah, tidak
diperbolehkan dicukur maupun dicabut. Rambut pada bagian
tertentu tersebut boleh dicukur sebagai pengecualian hanya bila dalam keadaan
sakit. Misalnya jika terdapat luka pada bagian tertentu tersebut, maka rambut
yang tumbuh boleh dicukur atau dicabut untuk mempermudah mengobati luka pada
bagian tubuh itu.
Wajah
dan Badan Jasmani
Seorang
bhikkhu tidak diperkenankan
memoleskan kosmetik atau membedaki wajah maupun tubuh dengan tujuan memperindah
diri. Pengecualian diberikan hanya jika dalam keadaan
sakit. Jadi seorang bhikkhu yang
mengalami sakit kulit dapat memoleskan ramuan obat-obatan untuk menyembuhkan
penyakitnya.
Bhikkhu yang tampil mewah tidak sesuai dengan tujuan hidup pabbajita. |
Seorang
bhikkhu tidak diperkenankan memakai
perhiasan untuk menghias tubuhnya. Kehidupan bhikkhu sangat identik dengan
kesederhanaan. Dengan demikian tidaklah layak seorang bhikkhu menggunakan perhiasan yang identik dengan kehidupan mewah.
Adapun hal-hal yang dapat digolongkan perhiasan adalah cicin, gelang, kalung,
anting, ikat pinggang, maupun aksesoris lainnya, meskipun bukan terbuat dari
bahan berharga.
Seorang
bhikkhu dilarang menggunakan cermin
atau barang lain yang mirip cermin dengan tujuan untuk membantu dalam
berdandan. Cermin hanya boleh digunakan dalam keadaan
tertentu. Misalnya ketika seorang bhikkhu
hendak mencukur rambut, mencabut rambut hidung, atau mencukur kumis dan jenggot,
serta mengobati luka di bagian tertentu yang tidak bisa dilihat secara
langsung.
Petapa telanjang yang masih ada sampai sekarang. |
Seorang
bhikkhu tidak diperkenankan pergi ke
tempat umum tanpa menggunakan jubah. Hal ini lebih mengacu
pada peraturan petapa tradisi lain yang mengharuskan untuk telanjang saat
berdiam diri maupun pergi ke tempat penduduk. Misalnya saja seperti para petapa
telanjang yang sampai saat ini masih dapat diketemukan di daerah-daerah
tertentu.
Para bhikkhu
diperkenankan tidak memakai jubah hanya jika dalam keadaan tertentu. Misalnya
sedang mandi atau sedang berdiam di sauna atau pemandian air panas. Jika tempat
pemandian berupa ruang ruangan tertutup, misalnya seperti kamar mandi, maka bhikkhu tersebut harus menanggalkan
jubah luar dan menyimpannya di tempat yang aman. Bhikkhu tersebut dapat masuk ke kamar mandi dengan menggunakan
jubah dalam saja, kemudian menanggalkan dan menggantungkannya di tempat
tertentu kemudian mandi.
Tetapi jika bhikkhu tersebut mandi di tempat terbuka, misalnya di sungai, maka
ia harus menanggalkan jubah luarnya di tepi sungai yang sekiranya tidak terkena
air. Setelah itu, bhikkhu tersebut melepas
ikat pinggang dan meletakkannya di atas, kemudian dengan berjongkok, melepas
jubah dalamnya dan melipatnya kemudian meletakkannya di atas jubah luarnya.
Setelah hal itu dilakukan, bhikkhu dapat
masuk ke dalam air untuk mandi dengan menghadap tempat jubahnya berada sehingga
dapat mengawasinya secara langsung.
Jika telah selesai mandi, bhikkhu tersebut dengan hati-hati
berjalan ke tepi sungai. Kemudian berjongkok untuk memakai jubah dalam. Setelah
jubah dalam terpasang dengan rapi, ia menggunakan ikat pinggang dan mengenaiakn
jubah luarnya. Selanjutnya bhikkhu tersebut
dapat meninggalkan sungai tempatnya mandi tersebut.
Terdapat peraturan khusus mengenai
interval waktu mandi bagi para bhikkhu.
Jika dalam keadaan tertentu, bhikkhu
berdiam di suatu tempat di mana air sangat sulit ditemukan atau karena ada
halangan yang lainnya, bhikkhu
tersebut diperkenankan untuk tidak mandi dengan batas waktu tidak lebih dari
dua minggu. Hal ini muncul
sebagai peraturan temporari bagi para bhikkhu
yang dulunya merasa kesulitan karena terganggu Raja Bimbisara, ketika para bhikkhu ingin mandi di pemandian air
panas di dekat Rajagaha.
Para
bhikkhu tidak diperkenankan menggosok
badan ketika mandi dengan benda-benda yang keras yang dapat melukai tubuhnya.
Adapun contoh benda-benda yang tidak diperbolehkan untuk menggosok tubuh ketika
mandi adalah kayu, tali kasar, pohon, dinding ataupun tiang. Selain itu, untuk
mencegah munculnya nafsu, para bhikkhu
juga tidak boleh menggosokkan punggungya ke punggung bhikkhu yang lain.
Adapun bahan penggosok yang
diperkenankan untuk membersihkan tubuh adalah sehelai kain atau dengan
menggunakan telapak tangan. Jika bhikkhu
tersebut memiliki bau badan yang tidak sedap, atau memiliki penyakit kulit,
dengan tujuan mengobati penyakitnya, bhikkhu
tersebut dapat menggosok badannya dengan menggunakan serbuk wangi, ampas
kering, ataupun tanah liat. Pada zaman sekarang, sabun mandi dapat digunakan
oleh bhikkhu untuk membersihkan tubuh
dan mengurangi bau badan.
Terdapat
peraturan yang melarang para bhikkhu
mengenakan pakaian umat awam. Pakaian umat awam dalam
bentuk apapun, seperti celana, baju, topi, maupun kain dengan berbagai warna,
tidak boleh dikenakan oleh bhikkhu.
Namun, dalam keadaan tertentu, misalnya ketika jubah seorang bhikkhu dicuri seluruhnya oleh pencuri,
maka bhikkhu dapat menggunakan kain
yang tidak terpakai untuk menutupi tubuhnya. Bahkan jika terpaksa sekali, bhikkhu tersebut dapat menggunakan
daun-daun pohon untuk menutupi tubuhnya sembari mencari bantuan kepada bhikkhu lain untuk mendapat jubah
pengganti.
Setelah
buang air, seorang bhikkhu harus
membersihkan tempat tersebut dengan baik. Jika misalnya di
tempat itu terdapat air, maka bhikkhu
tersebut dapat menggunakan air untuk membersihkan badannya dan menyiram tempat
itu. Jika tidak, ia dapat menggunakan kayu yang telah dihaluskan atau
benda-benda lain yang tidak kasar untuk membersihkannya. Selain itu, ketika
sedang buang air, bhikkhu tidak
diperkenankan melakukan aktivitas lain. Misalnya makan, menggosok gigi, ataupun
mandi.
Para
bhikkhu dilarang melakukan operasi
pada bagian tubuh tertentu yang bercelah sempit atau sejarak dua inchi atau dua
jari dari bagian tubuh itu. Salah satu contoh bagian tubuh
yang sering mengalami gangguan adalah dubur. Misalnya seorang bhikkhu terkena penyakit wasir, maka
wasir tersebut tidak boleh dioperasi. Hal yang bsia dilakukan adalah dengan
mengobatinya dengan obat tertentu dan membiarkan wasir tersebut sampai terlepas
sendiri.
Peraturan ini muncul pada zaman Buddha.
Pada zaman tersebut, ilmu pengobatan sudah cukup berkembang. Bahkan para tabib
juga sudah mengenal operasi. Namun demikian, alat-alat yang digunakan masih
sangat terbatas. Menyadari hal itu, operasi yang dilakukan di bagian tubuh
tertentu justru lebih akan membahayakan hidup pasien daripada menyelamatkannya.
Oleh karena itu, pada waktu itu terdapat larangan untuk melakukan operasi pada
bagian tubuh tertentu. Selain alasan tersebut, luka yang disebabkan operasi
pada bagian tubuh yang sempit seperti dubur, sangat susah untuk disembuhkan
atau memerlukan waktu yang relatif lama.
Seiring dengan perkembangan zaman,
alat-alat kedokteran semakin modern. Dengan demikian, jika memang penyakit
tersebut bisa diselesaikan melalui operasi dengan meminimalisir bahaya bagi
pasien, akan lebih baik jika dilakukan operasi.
Para bhikkhu dapat menggunakan kayu khusus
atau akar-akar khusus untuk membersihkan gigi. Seorang bhikkhu hendaknya juga menjaga kebersihan giginya dengan
membersihkannya. Pada zaman dahulu, para bhikkhu
biasanya menggunakan potongan kayu tertentu atau akar tertentu untuk dikunyah
dengan tujuan membersihkan giginya dari sisa-sisa makanan. Selain itu, bagi bhikkhu yang memiliki penyakit khusus,
seperti bau mulut atau sariawan, bisa menggunakan ramuan tertentu, misalnya
ramuan dari daun teh, untuk digunakan berkumur. Pada zaman sekarang, sikat gigi
dan pasta gigi bisa digunakan oleh para bhikkhu
untuk merawat kesehatan gigi.
Para
bhikkhu hendaknya menyaring air yang
hendak diminum menggunakan saringan air. Air yang diminum
harus disaring terlebih dahulu. Tujuannya adalah untuk menghindarkan
terminumnya air yang berisi binatang-binatang kecil. Selain itu, air yang
disaring tentu lebih murni dan lebih sehat.
Semua peraturan para bhikkhu di atas termasuk dalam abhisamācara. Peraturan tentang cara
mengatur badan jasamani tersebut diperlukan agar dapat menunjang kesehatan
fisik dari para bhikkhu. Dengan
mengatur perilaku dan badan jasmani sesuai dengan peraturan tersebut,
diharapkan para bhikkhu dapat
menjalani hidup dengan sederhana dan memperoleh ketenangan dan kesehatan fisik.
Referensi:
Vajirañāṇavarorasa, Somdet Phra Mahā Samaṇa Chao Krom Phrayā. 1973. The Entrance to The Vinaya, Vinayamukha Volume Two. Bangkok: Mahāmakut Rājavidyālaya Press.
boleh saya dapat sumber tentang peraturan para bhikhu dalam rambut kumis dan jenggot
ReplyDelete