Wednesday, 5 March 2014

PERATURAN BHIKKHU TENTANG CARA MENGATUR PENGGUNAAN ALAT-ALAT KEBUTUHAN (PARIKKHĀRA) Bagian 1

Kehidupan seorang bhikkhu harus ditunjang oleh alat-alat kebutuhan bhikkhu. Alat-alat kebutuhan tersebut memiliki istilah parikkhāra. Adapun hal-hal yang dimaksud sebagai parikkhāra adalah tiga macam jubah (cīvara), kain untuk duduk (nisīdana), mangkok (patta), seperangkat jarum dan benang, ikat pinggang, dan saringan air. Total keseluruhan terdapat delapan hal yang menjadi alat kebutuhan bhikkhu. Peralatan-peralatan itu disebut sebagai atthāparikkhāra. Ketika seseorang hendak ditahbiskan menjadi bhikkhu, ia harus memiliki delapan peralatan tersebut.

Jubah (Cīvara)
ensiklopedia-buddhadhamma.blogspot.com
Jubah bhikkhu.
Seseorang yang hendak ditahbiskan menjadi bhikkhu harus memiliki peralatan jubah secara lengkap. Peralatan jubah yang lengkap terdiri dari tiga jenis jubah. Pertama adalah jubah dalam (antaravāsaka) yang dipakai menutupi bagian tubuh dari pinggang ke bawah. Selanjutnya jubah luar (uttarāsaṅga), jubah ini dipakai menutupi seluruh tubuh dari bahu sampai kaki. Terakhir adalah jubah lapis (saṅghāṭi) yang merupakan jubah dengan dua lapisan kain yang dapat dipakai pada musim dingin.

Pada mulanya, jubah yang dikenakan oleh para bhikkhu hanya terdiri dari dua jenis jubah, yaitu jubah dalam dan jubah luar. Setelah beberapa periode waktu, Buddha kemudian memperkenankan penggunaan jubah lapis sebagai pelengkap jubah bagi bhikkhu. Hal ini disebabkan pada waktu malam hari di musim dingin, udara terasa sangat dingin. Oleh karena itu, Buddha kemudian memperkenankan penggunaan jubah lapis untuk digunakan sebagai pelindung tubuh bagi para bhikkhu.

Ukuran Jubah
Jubah luar (uttarāsaṅga) memiliki ukuran tertentu. Patokan ukuran dalam hal ini disebut sebagai ukuran Sugata-cīvara. Hal itu dijelaskan lebih lanjut bahwa jubah luar berukuran sembilan bentangan tangan panjangnya, dan enam bentangan tangan lebarnya. Namun, hal itu mengacu pada ukuran tubuh Buddha yang lebih besar daripada para siswa. Oleh karena itu, ukuran jubah luar ini hendaknya disesuaikan dengan tubuh bhikkhu yang akan mengenakannya. Pada umumnya ukuran yang digunakan adalah tidak lebih dari enam lengan panjangnya dan lebarnya tidak lebih dari empat lengan. Ukuran saṅghāṭi atau jubah lapis, harus dibuat sama dengan ukuran dari jubah luar (uttarāsaṅga).

Ukuran jubah dalam (antaravāsaka) tidak dikemukakan dengan jelas. Namun yang harus dijadikan patokan adalah antaravāsaka harus cukup panjang dan lebar untuk menutupi bagian tubuh mulai dari pusar sampai lutut. Rata-rata untuk para bhikkhu pada zaman sekarang, ukurannya adalah enam lengan panjangnya dan dua lengan lebarnya. Jika tubuh bhikkhu lebih tinggi maka lebar jubah harus ditambah. Sedangkan bagi bhikkhu yang gemuk, ukuran panjang jubah harus di tambah. Dengan demikian, jubah dalam harus disesuaikan ukurannya dengan tubuh bhikkhu yang bersangkutan.

Bahan Jubah
Untuk membuat jubah, baik jubah dalam, jubah luar, maupun jubah lapis, terdapat enam jenis bahan kain yang diperkenankan oleh Buddha. Enam jenis kain tersebut adalah khoma-kain yang terbuat dari serat tanaman; kappāsika-kain yang terbuat dari kapas; koseyya-kain yang terbuat dari benang sutra; kambala-kain yang terbuat dari bulu hewan (kecuali rambut kepala dan rambut tubuh manusia); sāṇa-kain yang terbuat dari serat rami; dan bhaṅga-kain yang terbuat dari campuran kain-kain di atas.

Kain linen adalah contoh kain yang terbuat dari bahan khoma atau serat tumbuhan. Sedangkan kain katun adalah jenis kappāsika yang terbuat dari kapas. Kain satin adalah contoh kain yang terbuat dari benang sutra (koseyya). Kain kambala contohnya adalah seperti kain wol. Kain yang terbuat dari serat rami (sāṇa) ciri-cirinya adalah sangat kasar jika dipegang, pada zaman sekarang ini kain tersebut sudah sulit ditemukan. Kain yang termasuk bhaṅga adalah campuran kain-kain tersebut. Kain-kain yang tidak terbuat dari enam bahan tersebut, tidak diperkenankan digunakan sebagai bahan jubah.

Untuk memperoleh kain-kain di atas, para bhikkhu pada zaman lampau biasanya mengambil kain-kain buangan yang ada di tempat sampah. Bisa juga kain bekas pembungkus mayat yang mana mayatnya telah hancur. Kain itu biasa disebut sebagai paṁsukula. Tetapi kemudian Buddha memperkenankan para bhikkhu menerima dana kain dari umat yang berbakti.
  
Desain Jubah
Buddha telah memberikan peraturan bahwa jubah harus terbuat dari kain yang sebelumnya dipotong-potong. Jika kain yang telah dipotong tersebut cukup untuk dibuat menjadi tiga jenis jubah, maka tiga jenis jubah harus dibuat. Tetapi jika tidak mencukupi, dapat dibuat satu jenis jubah saja.

ensiklopedia-buddhadhamma.blogspot.com
Desain jubah bhikkhu.

Setelah dipotong, kain harus dijahit bersama dengan desain jubah menyerupai bentuk sawah Magadha. Panel-panel yang besar dinamakan maṇḍala dan yang lebih kecil, aṭṭhamaṇḍala. Di sana terdapatlah garis-garis yang membagi-bagi seperti pinggiran atau tepi sungai di seberang ladang, ini adalah yang dinamakan aṭṭhakusi. Maṇḍala, aṭṭhamaṇḍala dan aṭṭhakusi, bersama-sama disebut suatu khaṇḍa atau bagian. Di antara masing-masing khaṇḍa terdapatlah garis yang membagi-bagi seperti tepi sungai yang panjang dari ladang yang dinamakan kusi.

Jubah minimal memiliki lima khaṇḍa. Jika seorang bhikkhu memiliki badan yang besar, jumlah khaṇḍa bisa saja ditambah. Namun, jumlah khaṇḍa haruslah ganjil, misalnya lima, tujuh, atau sembilan.

Warna Jubah
Kain yang telah dijahit dengan desain sawah Magadha tersebut menjadi satu jubah, kemudian harus diwarnai. Adapun bahan-bahan yang diperkenankan untuk jadikan bahan pewarna jubah adalah akar tanaman, umbi-umbian, pelepah pohon, daun, bunga, dan buah-buahan. Bahan-bahan tersebut harus dimasukkan ke dalam air yang mendidih dan direbus bersama pada waktu yang cukup lama.

Buddha tidak memperkenankan warna indigo, kuning, merah, magenta, mera muda, atau hitam digunakan sebagai warna jubah. Jubah juga tidak boleh memiliki motif tertentu, misalnya motif bunga atau hewan. Warna yang diperkenankan oleh Buddha adalah warna yang dihasilkan dari campuran warna kuning dan merah, atau warna seperti warna yang dihasilkan oleh inti kayu pohon nangka. Beberapa ahli vinaya mengatakan warna tersebut seperti warna fajar hari atau mendekati warna tanah.

Metode Mengenakan Jubah
Dalam kanon Pāḷi, tidak diberikan penjelasan yang terperinci tentang metode atau cara mengenakan jubah. Di dalam sekhiya dhamma hanya dijelaskan bahwa seorang bhikkhu hendaknya memakai jubah dalam dan jubah luar secara rapi. Dengan demikian, patokan yang digunakan adalah kerapian.
Jubah dalam hendaknya digunakan secara rapi. Jubah dalam harus melingkar di badan bagian bawah. Mulai dari pusar hingga lutut harus tertutupi jubah dalam, tetapi tidak sampai mata kaki. Jubah dalam tidak tersambung seperti sarung. Oleh karena itu, untuk mengenakannya secara rapi, dibutuhkan cara khusus. Biasanya para bhikkhu mengenakannya dengan cara melingkarkan di badan bagian bawah. Ujung jubah dalam kemudian di satukan dan dilipat di tengah-tengah badan dengan lipatan pertama dilipat kearah yang sama kemudian lipatan selanjutnya saling berlawanan arah. Cara ini digunakan agar jubah dalam tetap rata dan tidak mudah terbuka.

http://ensiklopedia-buddhadhamma.blogspot.com/
Contoh penggunaan jubah bhikkhu ketika ada di vihara.

Selanjutnya, penggunaan jubah luar harus disesuaikan dengan tempat di mana bhikkhu berdiam. Jika bhikkhu tinggal di suatu vihāra atau sedang melakukan tugas-tugas vinayakamma, maka jubah luar harus dipakai dengan membuka bahu kanan serta menutup bahu kiri. Sayangnya, tidak ada petunjuk yang detail tentang bagaimana cara mengenakan jubah tersebut. Oleh karenanya, bhikkhu di amsing-masing tempat memiliki cara yang berbeda dalam mengenakan jubah.

Mengacu pada tradisi bhikkhu Thailand, jubah luar dikenakan dengan cara menggulungnya di satu sisi sebelah kiri dan membiarkan bagu kanan terbuka. Gulungan kain jubah di kaitkan dengan lengan kiri sehingga tidak mudah lepas. Sedangkan bhikkhu Myanmar mengenakan jubah dengan cara melingkarkan jubah sehingga menutupi bahu kiri dan kemudian melipatnya dengan membiarkan bahu kanan tetap terbuka.

http://ensiklopedia-buddhadhamma.blogspot.com/
Pemakaian jubah bhikkhu jika di luar vihara.

Jika bhikkhu pergi ke tempat penduduk, maka jubah luar harus dikenakan dengan menutupi kedua bahu. Cara yang biasa digunakan adalah bhikkhu menggulung jubah melingkari seluruh badan. Setelah digulung dengan rapi, gulungan dikaitkan ke lengan sebelah kiri dan tangan sebelah kanan keluar dari ujung jubah bagian bawah.

Pemakaian saṅghāṭi juga tidak dijelaskan dengan rinci. Namun, kebiasaan bhikkhu pada saman dahulu ketika melaksankaan piṇḍacāra adalah mengenakannya bersamaan dengan jubah luar. Ketika melaksanakan kegiatan keagamaan, pada zaman sekarang bhikkhu biasanya melipat saṅghāṭi dan meletakkannya di bahu kiri.

Pada mulanya, bhikkhu hanya dierkenankan memiliki satu set jubah yang terdiri dari jubah dalam, jubah luar, dan jubah lapis. Tiga jubah tersebut adalah satu set jubah yang biasa disebut ticīvara. Namun, setelah itu, Buddha memperkenankan para bhikkhu untuk menyimpan jubah ekstra selama tidak lebih dari sepuluh hari.

Referensi
Vajirañāṇavarorasa, Somdet Phra Mahā Samaṇa Chao Krom Phrayā. 1973. The Entrance to The Vinaya, Vinayamukha Volume Two. Bangkok: Mahāmakut Rājavidyālaya Press.


No comments:

Post a Comment