Kehidupan seorang bhikkhu harus ditunjang oleh alat-alat kebutuhan bhikkhu. Alat-alat kebutuhan tersebut
memiliki istilah parikkhāra. Adapun
hal-hal yang dimaksud sebagai parikkhāra adalah
tiga macam jubah (cīvara), kain untuk
duduk (nisīdana), mangkok (patta), seperangkat jarum dan benang,
ikat pinggang, dan saringan air. Total keseluruhan terdapat delapan hal yang
menjadi alat kebutuhan bhikkhu. Peralatan-peralatan
itu disebut sebagai atthāparikkhāra.
Ketika seseorang hendak ditahbiskan menjadi bhikkhu,
ia harus memiliki delapan peralatan tersebut.
Jika bhikkhu pergi ke tempat penduduk, maka jubah luar harus dikenakan dengan menutupi kedua bahu. Cara yang biasa digunakan adalah bhikkhu menggulung jubah melingkari seluruh badan. Setelah digulung dengan rapi, gulungan dikaitkan ke lengan sebelah kiri dan tangan sebelah kanan keluar dari ujung jubah bagian bawah.
Jubah (Cīvara)
Jubah bhikkhu. |
Seseorang yang hendak ditahbiskan
menjadi bhikkhu harus memiliki
peralatan jubah secara lengkap. Peralatan jubah yang lengkap terdiri dari tiga
jenis jubah. Pertama adalah jubah dalam (antaravāsaka)
yang dipakai menutupi bagian tubuh dari pinggang ke bawah. Selanjutnya jubah
luar (uttarāsaṅga), jubah ini dipakai
menutupi seluruh tubuh dari bahu sampai kaki. Terakhir adalah jubah lapis (saṅghāṭi) yang merupakan jubah dengan
dua lapisan kain yang dapat dipakai pada musim dingin.
Pada mulanya, jubah yang dikenakan oleh
para bhikkhu hanya terdiri dari dua
jenis jubah, yaitu jubah dalam dan jubah luar. Setelah beberapa periode waktu,
Buddha kemudian memperkenankan penggunaan jubah lapis sebagai pelengkap jubah
bagi bhikkhu. Hal ini disebabkan pada
waktu malam hari di musim dingin, udara terasa sangat dingin. Oleh karena itu,
Buddha kemudian memperkenankan penggunaan jubah lapis untuk digunakan sebagai
pelindung tubuh bagi para bhikkhu.
Ukuran
Jubah
Jubah luar (uttarāsaṅga) memiliki ukuran tertentu. Patokan ukuran dalam hal ini
disebut sebagai ukuran Sugata-cīvara.
Hal itu dijelaskan lebih lanjut bahwa jubah luar berukuran sembilan bentangan
tangan panjangnya, dan enam bentangan tangan lebarnya. Namun, hal itu mengacu
pada ukuran tubuh Buddha yang lebih besar daripada para siswa. Oleh karena itu,
ukuran jubah luar ini hendaknya disesuaikan dengan tubuh bhikkhu yang akan mengenakannya. Pada umumnya ukuran yang digunakan
adalah tidak lebih dari enam lengan panjangnya dan lebarnya tidak lebih dari
empat lengan. Ukuran saṅghāṭi atau
jubah lapis, harus dibuat sama dengan ukuran dari jubah luar (uttarāsaṅga).
Ukuran jubah dalam (antaravāsaka) tidak dikemukakan dengan jelas. Namun yang harus
dijadikan patokan adalah antaravāsaka harus
cukup panjang dan lebar untuk menutupi bagian tubuh mulai dari pusar sampai
lutut. Rata-rata untuk para bhikkhu
pada zaman sekarang, ukurannya adalah enam lengan panjangnya dan dua lengan
lebarnya. Jika tubuh bhikkhu lebih
tinggi maka lebar jubah harus ditambah. Sedangkan bagi bhikkhu yang gemuk, ukuran panjang jubah harus di tambah. Dengan
demikian, jubah dalam harus disesuaikan ukurannya dengan tubuh bhikkhu yang bersangkutan.
Bahan
Jubah
Untuk membuat jubah, baik jubah dalam,
jubah luar, maupun jubah lapis, terdapat enam jenis bahan kain yang
diperkenankan oleh Buddha. Enam jenis kain tersebut adalah khoma-kain yang terbuat dari serat tanaman; kappāsika-kain yang terbuat dari kapas; koseyya-kain yang terbuat dari benang sutra; kambala-kain yang terbuat dari bulu hewan (kecuali rambut kepala
dan rambut tubuh manusia); sāṇa-kain
yang terbuat dari serat rami; dan bhaṅga-kain
yang terbuat dari campuran kain-kain di atas.
Kain linen adalah contoh kain yang
terbuat dari bahan khoma atau serat
tumbuhan. Sedangkan kain katun adalah jenis kappāsika
yang terbuat dari kapas. Kain satin adalah contoh kain yang terbuat dari benang
sutra (koseyya). Kain kambala contohnya adalah seperti kain
wol. Kain yang terbuat dari serat rami (sāṇa)
ciri-cirinya adalah sangat kasar jika dipegang, pada zaman sekarang ini kain
tersebut sudah sulit ditemukan. Kain yang termasuk bhaṅga adalah campuran kain-kain tersebut. Kain-kain yang tidak
terbuat dari enam bahan tersebut, tidak diperkenankan digunakan sebagai bahan
jubah.
Untuk memperoleh kain-kain di atas, para
bhikkhu pada zaman lampau biasanya
mengambil kain-kain buangan yang ada di tempat sampah. Bisa juga kain bekas
pembungkus mayat yang mana mayatnya telah hancur. Kain itu biasa disebut sebagai
paṁsukula. Tetapi kemudian Buddha
memperkenankan para bhikkhu menerima
dana kain dari umat yang berbakti.
Desain
Jubah
Buddha telah memberikan peraturan bahwa
jubah harus terbuat dari kain yang sebelumnya dipotong-potong. Jika kain yang
telah dipotong tersebut cukup untuk dibuat menjadi tiga jenis jubah, maka tiga
jenis jubah harus dibuat. Tetapi jika tidak mencukupi, dapat dibuat satu jenis
jubah saja.
Desain jubah bhikkhu. |
Setelah dipotong, kain harus dijahit
bersama dengan desain jubah menyerupai bentuk sawah Magadha. Panel-panel
yang besar dinamakan maṇḍala dan
yang lebih kecil, aṭṭhamaṇḍala. Di
sana terdapatlah garis-garis yang membagi-bagi seperti pinggiran atau tepi
sungai di seberang ladang, ini adalah yang dinamakan aṭṭhakusi. Maṇḍala, aṭṭhamaṇḍala dan aṭṭhakusi, bersama-sama disebut suatu khaṇḍa atau bagian. Di antara
masing-masing khaṇḍa
terdapatlah garis yang membagi-bagi seperti tepi sungai yang panjang dari
ladang yang dinamakan kusi.
Jubah minimal memiliki lima khaṇḍa.
Jika seorang bhikkhu memiliki badan
yang besar, jumlah khaṇḍa bisa saja
ditambah. Namun, jumlah khaṇḍa haruslah
ganjil, misalnya lima, tujuh, atau sembilan.
Warna
Jubah
Kain yang telah dijahit dengan desain
sawah Magadha tersebut menjadi satu jubah, kemudian harus diwarnai. Adapun
bahan-bahan yang diperkenankan untuk jadikan bahan pewarna jubah adalah akar
tanaman, umbi-umbian, pelepah pohon, daun, bunga, dan buah-buahan. Bahan-bahan
tersebut harus dimasukkan ke dalam air yang mendidih dan direbus bersama pada
waktu yang cukup lama.
Buddha tidak memperkenankan warna
indigo, kuning, merah, magenta, mera muda, atau hitam digunakan sebagai warna
jubah. Jubah juga tidak boleh memiliki motif tertentu, misalnya motif bunga
atau hewan. Warna yang diperkenankan oleh Buddha adalah warna yang dihasilkan
dari campuran warna kuning dan merah, atau warna seperti warna yang dihasilkan
oleh inti kayu pohon nangka. Beberapa ahli vinaya
mengatakan warna tersebut seperti warna fajar hari atau mendekati warna tanah.
Metode
Mengenakan Jubah
Dalam kanon Pāḷi, tidak diberikan
penjelasan yang terperinci tentang metode atau cara mengenakan jubah. Di dalam sekhiya dhamma hanya dijelaskan bahwa
seorang bhikkhu hendaknya memakai
jubah dalam dan jubah luar secara rapi. Dengan demikian, patokan yang digunakan
adalah kerapian.
Jubah dalam hendaknya digunakan secara
rapi. Jubah dalam harus melingkar di badan bagian bawah. Mulai dari pusar
hingga lutut harus tertutupi jubah dalam, tetapi tidak sampai mata kaki. Jubah
dalam tidak tersambung seperti sarung. Oleh karena itu, untuk mengenakannya
secara rapi, dibutuhkan cara khusus. Biasanya para bhikkhu mengenakannya dengan cara melingkarkan di badan bagian
bawah. Ujung jubah dalam kemudian di satukan dan dilipat di tengah-tengah badan
dengan lipatan pertama dilipat kearah yang sama kemudian lipatan selanjutnya
saling berlawanan arah. Cara ini digunakan agar jubah dalam tetap rata dan
tidak mudah terbuka.
Selanjutnya, penggunaan jubah luar harus
disesuaikan dengan tempat di mana bhikkhu
berdiam. Jika bhikkhu tinggal di
suatu vihāra atau sedang melakukan
tugas-tugas vinayakamma, maka jubah
luar harus dipakai dengan membuka bahu kanan serta menutup bahu kiri.
Sayangnya, tidak ada petunjuk yang detail tentang bagaimana cara mengenakan
jubah tersebut. Oleh karenanya, bhikkhu
di amsing-masing tempat memiliki cara yang berbeda dalam mengenakan jubah.
Mengacu pada tradisi bhikkhu Thailand, jubah luar dikenakan
dengan cara menggulungnya di satu sisi sebelah kiri dan membiarkan bagu kanan
terbuka. Gulungan kain jubah di kaitkan dengan lengan kiri sehingga tidak mudah
lepas. Sedangkan bhikkhu Myanmar
mengenakan jubah dengan cara melingkarkan jubah sehingga menutupi bahu kiri dan
kemudian melipatnya dengan membiarkan bahu kanan tetap terbuka.
Pemakaian jubah bhikkhu jika di luar vihara. |
Jika bhikkhu pergi ke tempat penduduk, maka jubah luar harus dikenakan dengan menutupi kedua bahu. Cara yang biasa digunakan adalah bhikkhu menggulung jubah melingkari seluruh badan. Setelah digulung dengan rapi, gulungan dikaitkan ke lengan sebelah kiri dan tangan sebelah kanan keluar dari ujung jubah bagian bawah.
Pemakaian saṅghāṭi juga tidak dijelaskan dengan rinci. Namun, kebiasaan bhikkhu pada saman dahulu ketika
melaksankaan piṇḍacāra adalah
mengenakannya bersamaan dengan jubah luar. Ketika melaksanakan kegiatan
keagamaan, pada zaman sekarang bhikkhu
biasanya melipat saṅghāṭi dan
meletakkannya di bahu kiri.
Pada mulanya, bhikkhu hanya dierkenankan memiliki satu set jubah yang terdiri
dari jubah dalam, jubah luar, dan jubah lapis. Tiga jubah tersebut adalah satu
set jubah yang biasa disebut ticīvara.
Namun, setelah itu, Buddha memperkenankan para bhikkhu untuk menyimpan jubah ekstra selama tidak lebih dari
sepuluh hari.
Referensi
Vajirañāṇavarorasa,
Somdet Phra Mahā Samaṇa Chao Krom Phrayā. 1973. The Entrance to The Vinaya, Vinayamukha Volume Two. Bangkok:
Mahāmakut Rājavidyālaya Press.
No comments:
Post a Comment