Alat-alat kebutuhan bhikkhu tidak hanya terbatas sampai pada jubah (cīvara) saja. Setelah tiga jenis jubah,
alat-alat kebutuhan bhikkhu yang
lainnya adalah nisīdana (kain duduk);
patta (mangkok); seperangkat jarum
dan benang, ikat pinggang, dan saringan air. Berikut ini pembahasan secara
lanjut mengenai alat-alat kebutuhan bhikkhu.
Mangkok
(Patta)
Mangkok
adalah salah satu alat kebutuhan yang wajib dimiliki oleh seorang bhikkhu. Seseorang yang ingin di-upasampadā (ditahbiskan menjadi bhikkhu) hendaknya telah memiliki patta atau mangkok. Ada dua jenis
mangkok yang diperkenankan oleh Buddha, yaitu mangkok yang terbuat dari tanah
liat dan besi.
Ada sebelas jenis mangkok yang tidak
diperkenankan oleh Buddha. Kesebelas jenis mangkok tersebut adalah mangkok yang
terbuat dari emas, perak, batu permata, batu berharga, mutiara, gelas kaca,
tembaga, kuningan, timah, seng, dan kayu. Mangkok dari emas dan perak tidak
diperbolehkan karena tidak pantas digunakan oleh bhikkhu. Mangkok dari batu permata, batu berharga, dan yang dihias
dengan mutiara, juga tidak cocok digunakan oleh bhikkhu. Mangkok dari gelas kaca akan mudah pecah dan membahayakan
hidup bhikkhu jika sampat pecahan itu
tertelan. Mangkok dari tembaga, kuningan, timah, dan seng akan beroksidasi jika
terkena makanan yang bersifat asam sehingga meningkatkan kadar racun dalam
makanan. Mangkok dari kayu juga dilarang karena mangkok dari kayu akan susah
dibersihkan. Bahkan sisa makanan bisa meresap ke dalam pori-pori kayu dan
menyebabkan jamur serta racun.
Ukuran standar mangkok bhikkhu pada zaman sekarang adalah 27,5
inchi. Sedangkan jika mengacu kepada cerita-cerita Buddha pada masa lampau,
mangkok terdiri dari tiga ukuran yaitu ukuran kecil, sedang, dan besar. Mangkok
kecil berukuran seperti gayung, sedangkan untuk mangkok sedang adalah dua kali
lipat mangkok kecil. Demikian pulda dengan ukuran mangkok yang besar adalah dua
kali lipat ukuran mangkok sedang.
Seorang bhikkhu hanya boleh memiliki satu mangkok saja. Jika terdapat
mangkok tambahan, maka mangkok tersebut hanya boleh disimpan tidak lebih dari
sepuluh hari. Mangkok hanya dapat ditukar dengan mangkok yang baru apabila
mangkok telah memiliki lima lobang (berarti juga memiliki lima tambalan),
mangkok retak sepanjang sepuluh inchi, atau jika mangkok telah terbelah.
Mangkok yang dipakai pada zaman Buddha,
kebanyakan adalah mangkok yang terbuat dari gerabah. Mangkok yang demikian itu
sangat rentan dan mudah pecah. Oleh karena itu para bhikkhu harus menyimpan mangkoknya dengan hati-hati. Para bhikkhu tidak boleh menaruh mangkok di
tempat yang menyebabkan mangkok itu mudah jatuh dan mangkok tidak boleh
diletakkan menghadap ke atas di tempat yang kasar atau tidak rata.
Buddha memperkenankan para bhikkhu memiliki kain khusus untuk
menyimpan dan membawa mangkok yang digunakan seperti tas. Buddha juga
mengizinkan para bhikkhu memiliki
tatakan kayu untuk menaruh mangkok agar tidak menggelinding ketika diletakkan
di atas lantai.
Kain Duduk (Nisīdana)
Kain yang tidak dipakai untuk membuat
jubah, dapat digunakan untuk membuat peralatan pribadi. Salah satu peralatan
pribadi seorang bhikkhu adalah nisīdana atau kain duduk. Kain duduk ini
juga memiliki aturan-aturan mengenai ukuran yang diperbolehkan. Seorang bhikkhu diperbolehkan untuk memiliki
haya satu nisīdana.
Ukuran nisīdana atau kain duduk adalah panjang maksimal dua bentangan
tangan dan lebar maksimal adalah satu setengah bentangan tangan. Nisīdana harus dibuat dengan garis
batas. Ada tiga garis batas yang ada di nisīdana
dan bagian keepat adalah inti dari nisīdana
itu sendiri. Berikut ini gambar untuk menjelaskan lebih detail bentuk dari nīsidana.
Gambar 1.Bentuk nisīdana 1 |
Keterangan:
1.
Inti dari nisīdana. 2. Tiga garis batas nisīdana dipotong dengan ukuran yang
sama.
Gambar 2. Bentuk nisīdana 2 |
Keterangan:
1.
Inti nisīdana. 2. Garis batas besar. 3.
Garis batas kecil.
Gambar 3. Bentuk nisīdana 3 |
Keterangan:
1.
Inti
nisīdana. 2. Garis batas besar. 3.
Garis batas kecil.
Gambar di atas menunjukkan bahwa kain
bahan nisīdana harus dipotong menjadi
empat bagian. Satu bagian untuk membuat inti dari nisīdana, sedangkan tiga bagian sisanya adalah sebagai garis batas
atau pinggiran nisīdana. Empat bagian
tersebut kemudian dijahit bersama membentuk sebuah kain duduk bagi para bhikkhu.
Nisīdana
adalah
salah satu alat kebutuhan yang diperkenankan oleh Buddha sebagai tambahan.
Seorang bhikkhu tidak boleh berdiam
tanpa nisīdana lebih dari empat bulan.
Dengan demikian, seorang bhikkhu
boleh tinggal di suatu tempat tanpa menggunakan nisīdana untuk sementara waktu tetapi tidak boleh melewati periode
empat bulan.
Untuk peralatan lainnya yang terbuat
dari kain, tampaknya tidak ada pembatasan baik dalam hal jumlah dan ukuran.
Misalnya saja seorang bhikkhu
diperkenankan untuk memiliki kain alas tidur atau sprei (paccaṭṭharaṇa), kain untuk mengelap mulut (mukkhapuñchana), dan kain untuk membawa mangkok. Namun biasanya
para bhikkhu hanya memiliki satu buah
untuk semua jenis kain tersebut.
Seperangkat
Jarum dan Benang
Jarum dan benang |
Ikat
Pinggang
Terdapat dua jenis ikat pinggang yang
dipperboleh kan oleh Buddha. Pertama adalah ikat pinggang yang pipih, biasanya
terbuat dari kain. Kedua adalah ikat pinggang yang bentuknya seperti tali. Ikat
pinggang yang digunakan hendaknya ikat pinggang yang sederhana dan tidak
dipintal dengan indah menggunakan hiasan-hiasan.
Saringan
Air
Saringan air bisa saja terbuat dari
sepotong kain yang dirangkai dengan suatu benda yang berbentuk silinder,
misalnya dengan batang bambu. Saringan air dalam bentuk yang lain juga
diperkenankan sepanjang hal itu adalah sederhana dan fungsinya adalah
benar-benar untuk menyaring air.
Para bhikkhu
yang hendak pergi jauh harus membawa serta saringan air. Karena para bhikkhu harus menyaring air yang hendak
diminum terlebih dahulu untuk membebaskan air dari binatang kecil dan
memurnikan air. Jika seorang bhikkhu pergi
tanpa membawa saringan air, maka ia bisa meminjamnya kepada bhikkhu yang lain.
Peralatan
Lainnya
Seiring dengan perkembangan zaman,
Buddha memperkenankan penggunaan alat kebutuhan lainnya bagi para bhikkhu. Misalnya saja pisau cukur,
sandal, dan payung. Semuanya akan dibahas sebagai berikut.
Pisau cukur adalah pisau yang berguna
untuk mencukur rambut kepala. Oleh karena itu, pisau cukur tidaklah dipandang
sebagai senjata. Pisau cukur biasanya dilengkapi dengan alat pengasah dan
sarung penyimpanan pisau cukur. Peralatan ini diperbolehkan untuk dimiliki oleh
seorang bhikkhu sebagai peralatan
pribadi.
Sandal adalah alas kaki yang dapat
digunakan oleh para bhikkhu yang
hendak melakukan perjalanan. Namun, terdapat beberapa peraturan tentang
penggunaan sandal. Para bhikkhu tidak
diperkenankan mengenakan sandal yang memiliki hak (tumit). Para bhikkhu juga tidak boleh menggunakan
sandal yang terbuat dari barang berharga seperti emas dan perak atau yang
dihias dengan batu-batu berharga. Para bhikkhu
hanya boleh menggunakan sandal yang tidak memiliki hak (tumit) dan dibuat sederhana.
Penggunaan payung telah diperbolehkan
oleh Buddha. Hal ini untuk membantu melindungi para bhikkhu dari cuaca. Para bhikkhu
dapat menggunakan payung jika hujan agar jubah yang dikenakan tidak basah.
Terdapat larangan penggunaan payung jika para bhikkhu yang sehat sedang berjalan di tempat penduduk dalam cuaca yang
normal. Payung yang diapai juga harus payung sederhana dan tidak memiliki warna
yang mencolok.
Simpulan
Para bhikkhu
memiliki peralatan kebutuhan wajib yang harus dipenuhi. Bahakan peralatan
tersebut adalah syarat peralatan minimal yang harus dilengkapi ketika seseorang
ingin ditahbisakan menjadi bhikkhu.
Peralatan tersebut adalah tiga jenis jubah, mangkok, kain duduk, ikat pinggang,
jarum dan benang, serta saringan air.
Namun seiring dengan perkembangan zaman,
peralatan kebutuhan bhikkhu juga
berkembang. Buddha juga memberikan perkenan terhadap barang-barang kebutuhan
tersebut. Misalnya saja seorang bhikkhu boleh
memiliki secara pribadi pisau cukur, sandal, dan payung. Hal-hal tambahan ini
bisa dipergunakan hanya jika memang digunakan sesuai fungsinya dan dalam bentuk
yang sederhana.
Referensi
Vajirañāṇavarorasa, Somdet Phra Mahā Samaṇa Chao
Krom Phrayā. 1973. The Entrance to The
Vinaya, Vinayamukha Volume Two. Bangkok: Mahāmakut Rājavidyālaya Press.
No comments:
Post a Comment