Monday, 19 May 2014

PENGHORMATAN (GARAVO)

Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Saṅgha) memiliki kedudukan yang tinggi bagi umat Buddha. Di dalam peraturan, para bhikkhu hendaknya menghormati Tiratana secara layak. Para bhikkhu tidak diperkenankan berbicara mengenai Tiratana secara main-main. Buddha, Dhamma, dan Saṅgha tidak diperkenankan dijadikan bahan pembicaraan untuk kesenangan semata.

Menceritakan sebuah dongeng karangan sendiri dengan menggunakan nama Buddha dan para bhikkhu siswa utama Buddha juga tidak diperkenankan. Hal ini diberlakukan untuk menghindari berkembangnya cerita-cerita yang tidak dapat sesuai mengenai kehidupan Buddha dan para siswa. Seorang bhikkhu juga tidak diperkenankan menceritakan kisah Buddha dan para siswa Buddha dengan cara yang tidak sopan. Jika seorang bhikkhu menceritakan kisah Buddha dan para siswa secara tidak sopan, hal itu dapat saja menghilangkan keyakinan umat Buddha terhadap ajaran Buddha yang sesungguhnya. Oleh karena itu, seorang bhikkhu hendaknya menceritakan kisah Buddha dengan cara yang layak sehingga dapat memperkuat keyakinan (saddhā) pendengarnya.


Sikap Penghormatan
Dalam ajaran Buddha, keharmonisan hubungan para bhikkhu dan umat awam sangat dianjurkan. Oleh karena itu, Buddha memperkenankan berbagai macam sikap jasmani yang dapat menunjukkan penghormatan. Sikap-sikap tersebut adalah bersujud (vandana), merangkapkan tangan di depan dada (añjali), berdiri untuk menyambut (uṭṭhāna), dan cara-cara lain yang menunjukkan kerendahan hati (samicikamma).

Vandana adalah sikap bersujud untuk memberikan penghormatan. Sesuai dengan tradisi, ketika melakukan vandana biasanya terdapat lima titik tubuh yang menyentuh lantai. Kelima titik tersebut adalah dahi, telapak tangan, siku, lutut, dan jari kaki. Sikap vandana ini juga biasa dikenal dengan istilah namakāra atau namaskāra.

Para bhikkhu dan umat awam biasanya juga memberikan penghormatan berupa vandana ketika memasuki sebuah cetiya. Namun demikian, vandana juga bisa diberikan oleh bhikkhu junior kepada bhikkhu yang lebih senior, anak kepada orang tuanya, maupun kepada orang yang layak dihormati.
Añjali adalah sikap menghormat yang sudah umum dikenal dalam tradisi ajaran Buddha. Bahkan pada zaman sekarangañjali juga dilakukan oleh semua orang. Dalam tradisi ajaran Buddha, añjali adalah sikap menghormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada.

Seorang bhikkhu junior memiliki kewajiban untuk melakukan añjali kepada bhikkhu senior. Namun seorang bhikkhu senior tidak perlu melakukan añjali kepada bhikkhu junior. Selain itu, dalam tradisi bhikkhu, seorang bhikkhu tidak diperkenankan melakukan añnjali kepada orang lain yang tidak menerima penahbisan sebagai bhikkhu. Hal tersebut berarti bahwa para bhikkhu tidak perlu añjali kepada umat awam maupun pemuka agama lain.

Penjelasan sikap añjali tidak perlu dilakukan kepada umat awam tampaknya telah jelas karena umat awam dipandang sebagai siswa dan bhikkhu sebagai guru spiritual. Sedangkan penjelasan mengapa bhikkhu tidak melakukan añnjali kepada pemuka agama lain adalah lebih mengacu pada tradisi kuno pada zaman Buddha. Ketika itu, para pemuka agama dan kepercayaan lain meyakini bahwa ajaran yang mereka anut adalah ajaran yang paling tinggi. Dengan demikian mereka tidak mau menghormat dengan añjali kepada pemuka agama yang berbeda ajaran. Hal ini juga diberlakukan bagi para bhikkhu pengikut Buddha sebagai suatu tradisi atau kebiasaan pada masa itu. Karena jika para bhikkhu melakukan añjali kepada pemuka agama lain (para brahmana maupun petapa aliran lain) akan muncul anggapan bahwa ajaran Buddha lebih rendah daripada ajaran kaum brahmana dan petapa lainnya. Hal tersebut justru akan menghilangkan keyakinan umat terhadap Dhamma.

Dalam beberapa hal berikut, para bhikkhu juga tidak perlu melakukan añjali kepada bhikkhu senior.
  1. Sewaktu bhikkhu senior melakukan vutthanavidhi (proses rehabilitasi), karena telah melakukan pelanggaran sanghadisesa.
  2. Pada waktu Saṅgha telah memberlakukan ukkhepaniyakamma (skorsing) kepada bhikkhu senior.
  3. Ketika bhikkhu senior sedang telanjang (berbusana separuh), maka para bhikkhu junior tidak perlu melakukan añjali.
  4. Bhikkhu junior dan senior sedang berjalan di sepanjang jalan atau sedang berada di daerah pemukiman.
  5. Bhikkhu junior dan senior sedang berada di tempat gelap dan tidak dapat melihat satu sama lain.
  6. Bhikkhu senior tidak dapat mengetahui penghormatan yang diberikan oleh bhikkhu junuior karena sedang beraktivitas, misalnya sedang tidur, terbenam dalam banyak pekerjaan, atau pikirannya melayang ke tempat lain sehingga bila ada bhikkhu membuat añjali, ia tidak dapat memberikan tanggapan kepadanya.
  7. Ketika sedang menyantap makanan,añjali tidak perlu dikaukan.
  8. Pada waktu sedang membuang air besar dan kecil, tidak perlu melakukan añjali kepada bhikkhu senior.

Jika seorang bhikkhu membuat sikap añjali dalam kasus tiga pertama di atas, maka bhikkhu tersebut melakukan dukkata. Namun jika bhikkhu memberi añjali di lima kasus yang selanjutnya, maka bhikkhu tersebut dianggap melakukan hal yang tidak pantas dilakukan.

Uṭṭhāna adalah sikap berdiri untuk menyambut. Biasanya para bhikkhu akan berdiri untuk menyambut kedatangan bhikkhu yang lebih senior. Saat ini sikap berdiri untuk menyambut adalah hal yang wajar dilakukan oleh setiap orang untuk menghormati para tamu yang datang.

Samicikamma adalah sikap lainnya yang menunjukkan kerendahan hati dengan tujuan untuk menghormati orang lain. Msialnya adalah dengan bertutur kata sopan dan lemah lembut. Selain itu, merawat bhikkhuu yang sedang sakit juga merupakan bentuk penghormatan yang tergolong dalam samicikamma. Hal-hal lain yang termasuk samicikamma adalah sebagai berikut:
  1. Seorang bhikkhu junior tidak diperkenankan memakai sandal atau alas kaki jika sedang berada di perkumpulan yang mana para bhikkhu senior sedang tidak memakai alas kaki.
  2. Bhikkhu junior menyapa bhikkhu senior dengan sebutan bhante (guru) sebaliknya bhikkhu senior menyapa bhikkhu junior dengan sebutan avuso (sahabat).
  3. Bhikkhu junior yang tinggal bersama dalam satu kūṭi dengan bhikkhu senior hendaknya meminta izin terlebih dahulu jika ingin melakukan sesuatu hal, misalnya hendak mematikan lampu.
  4. Bhikkhu junior yang hendak membabarkan Dhamma di mana di ruangan tersebut terdapat bhikkhu yang lebih senior hendaknya meminta izin dan menghormat kepada bhikkhu senior terlebih dahulu sebelum membabarkan Dhamma.
  5. Bhikkhu senior mempersilahkan bhikkhu junior untuk mengambil tempat duduk yang lebih tinggi ketika akan membabarkan Dhamma.
  6. Tidak memakai payung atau penutup kepala ketika berada dalam cetiya.
  7. Tidak meludah, buang air kecil, dan buang air besar sembarangan di lingkungan cetiya.
  8. Duduk dengan tenang ketika khotbah Dhamma dibabarkan dan tidak meninggalkan tempat sampai khotbah Dhamma selesai. Jika khotbah Dhamma yang disampaikan sangat panjang dan bhikkhu ingin pergi keluar dari Dhammasāla, maka bhikkhu diperkenankan pergi pada saat suatu pokok bahasan telah dibahas dengan tuntas.
  9. Menggunakan jubah dengan bahu terbuka ketika berada di perkumpulan Saṅgha maupun berada dalam wilayah cetiya.

Dengan demikian, segala perbuatan jasmani dan ucapan yang berhubungan dengan sikap kerendahan hati termasuk dalam samicikamma.


No comments:

Post a Comment