Tuesday, 6 May 2014

ANIYĀTA

Aniyāta berarti tidak tentu atau tidak pasti. Dalam hal ini, aniyāta menunjukkan pelanggaran yang dilakukan oleh para bhikkhu ataupun bhikkhūṇi di mana pelanggaran tersebut masih belum dapat ditentukan. Ada dua macam pelanggaran aniyāta.

1.      Seorang bhikkhu duduk bersama dengan seorang wanita, di tempat yang terhalang (sehingga orang lain tidak dapat melihat mereka berdua). Kemudian seorang umat awam wanita yang dapat dipercaya melaporkan kejadian tersebut, maka bhikkhu tersebut harus disidang berkenaan dengan pelanggaran parajika, saghadisesa, atau pacittiya.

2.      Seorang bhikkhu duduk bersama dengan seorang wanita, di tempat yang tidak terhalang namun berada jauh dari keramaian (sehingga orang lain tidak dapat mendengar perbincangan mereka). Kemudian seorang umat awam wanita yang dapat dipercaya melaporkan kejadian tersebut, maka bhikkhu tersebut harus disidang berkenaan dengan pelanggaran saghadisesa atau pacittiya.


Keterangan:
Yang dimaksud dengan tempat yang terhalang adalah tempat yang memiliki sekat atau batas sehingga orang lain tidak dapat mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh bhikkhu tersebut bersama dengan seorang wanita itu. Hal ini memungkinkan terjadinya aktivitas seksual yang menjadi basis dari parajika, kata-kata yang mengarah kepada ajakan hubungan seksual yang menjadi basis dari saghadisesa, dan pacittiya.

Tempat yang tidak terhalang mengacu kepada tempat terbuka yang tidak bersekat, sehingga orang lain dapat melihat aktivitas bhikkhu tersebut bersama dengan seorang wanita itu. Namun, tempat ini jauh dari keramaian sehingga orang lain tidak mungkin mendengar percakapan yang dilakukan oleh bhikkhu dan wanita itu. Hal ini memungkinkan terjadinya ucapan yang mengarah pada ajakan hubungan seksual yang menjadi basis saghadisesa, dan pacittiya.

Umat awam wanita yang bisa dipercaya sebagai pelapor adalah seorang umat yang paling tidak telah mencapai tingkat kesucian pemasuk arus (sotapanna). Orang yang demikian, tidak mungkin dapat berbohong lagi. Oleh karena itu, umat awam ini dikatakan adalah umat yang dapat dipercaya.

Jika dalam sidang, bhikkhu tersebut telah mengakui bahwa terjadi hubungan seksual, maka secara otomatis pelanggaran parajika dilakukan. Ketika bhikkhu itu menyangkal terjadi hubungan seksual tetapi membenarkan bahwa telah terjadi ucapan yang tidak pantas (mengarah kepada hubungan seksual), maka dikenakan pelanggaran saghadisesa. Namun jika bhikkhu itu mengelak melakukan parajika atau saghadisesa, maka ia secara otomatis terkena pacittiya.

No comments:

Post a Comment