Buddha
memperkenankan Saṅgha untuk melakukan kegiatan-kegiatan khusus seperti
pelaksanaan uposatha, pavārana, dan kegiatan saṅghakamma lainnya di tempat khusus
yang disebut sebagai sīmā. Secara
makna kata, sīmā berarti garis batas.
Garis batas ini membentuk suatu bidang tertentu yang menjadi patokan bahwa para
bhikkhu dapat dikatakan tinggal
bersama. Garis batas (sīmā) terdiri
dari dua jenis, yaitu baddha sīmā
yang mana lebih dikenal sebagai garis batas yang dibentuk oleh Saṅgha dan
bersifat tetap, dan abaddha sīmā yang
merupakan garis batas tidak tetap karena ditetapkan oleh pemerintah atau
pejabat-pejabat sipil. Pada bagian selanjutnya, materi ini akan membahas
mengenai baddha sīmā.
Area dari Baddha
Sīmā
Buddha
memperkenankan Saṅgha untuk menetapkan suatu wilayah menjadi sebuah sīmā. Tetapi penetapan wilayah tersebut
memiliki batas minimal dan batas maksimal dalam hal ukuran. Adapun batas ukuran
minimal sebuah sīmā adalah harus
mampu menampung sebanyak dua puluh satu orang bhikkhu. Sedangkan batasan maksimal sebuah sīmā adalah seluas tiga yojana. Sīmā
yang lebih kecil atau lebih besar dari batas ukuran tersebut tidak dapat
digunakan untuk melaksanakan kegiatan Saṅgha.
Sīmā
yang tidak dapat menampung sebanyak dua puluh satu orang bhikkhu tidak dapat digunakan. Hal ini dapat dimengerti karena
pelaksanaan saṅghakamma yang mana
paling banyak membutuhkan jumlah bhikkhu
yang hadir adalah sebanyak dua puluh orang bhikkhu.
Saṅghakamma tersebut berkenaan dengan
penyelesaian pelanggaran saṅghādisesa.
Dengan demikian, dua puluh bhikkhu
adalah bhikkhu sebagai penerima
pengakuan dan satu orang bhikkhu yang
melanggar saṅghādisesa dengan total
berarti ada dua puluh satu bhikkhu
dalam sebuah sīmā.
Sīmā
yang lebih luas dari tiga yojana juga tidak dapat digunakan untuk melakukan saṅghakamma.Hal tersebut dapat
dimengerti bahwa daerah yang terlalu luas akan membatasi jarak pandang dan
pendengaran. Oleh karena itu, sīmā
yang luasnya melebihi tiga yojana tidak diperkenankan oleh Buddha.
Area atau
wilayah yang digunakan untuk membuat sīmāharuslah
daerah yang bebas dari hak kepemilikan orang lain. Setelah daerah tersebut
benar-benar daerah yang tidak diklaim sebagai milik seseorang, maka Saṅgha baru
dapat menetapkan wilayah tersebut sebagai sīmā
sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.
Nimitta(Tanda
Batas)
Sebuah sīmā haruslah memiliki tanda batas. Buddha
memperkenankan daerah sima dibatasi dengan sesuatu hal yang disebut sebagai nimitta atau tanda batas. Dalam naskah
Pāḷi, dapat diketahui terdapat delapan jenis tanda batas yang dapat digunakan,
yaitu bukit, batu karang, hutan belukar, pohon-pohon besar, bukit sarang semut,
jalan setapak, sungai, genangan air seperti danau. Dari berbagai jenis nimitta tersebut dapat diketahui bahwa
pada zaman dahulu sīmā bisa saja
merupakan daerah yang luas.
Jumlah nimitta yang dapat digunakan sebagai
tanda batas sīmā minimal berjumlah
tiga buah. Hal ini dapat dimengerti bahwa jika nimitta berjumlah kurang dari tiga nimitta maka tidak dapat membentuk sebuah bidang sīmā. Namun, nimitta tidak dibatasi dalam jumlah maksimalnya. Dengan demikian,
dapat diketahui bahwa bidang sīmā
paling tidak akan membentuk sebuah bidang segitiga.
Penetapan Sīmā
Sebelum
suatu wilayah ditetapkan sebagai sīmā,
para bhikkhu akan membacakan pembatalan sīmā
terlebih dahulu. Hal ini disebabkan bahwa masih ada kemungkingan daerah
tersebut telah ditetapkan sebagai sīmā
pada masa lampau namun sekarang sudah tidak diketahui batas-batasnya. Terdapat
suatu aturan bahwa sīmā tidak dapat
bertumpang tindih, dengan demikian, adalah suatu kebiasaan bahwa sebelum
mengukuhkan suatu wilayah menjadisīmā,
para bhikkhu justru membacakan
pembatalan sīmā di wilayah tersebut.
Setelah
pembatalan wilayah selesai dilakukan dengan semua bagian dalam wilayah
tersebut, maka barulah para bhikkhu
mengukuhkan tempat tersebut sebagai sīmā
diawali dengan menunjukkan nimitta
wilayah tersebut. Setelah itu pengukuhan sīmā
dilakukan dengan membacakan kalimat pembentukan sīmā. Suatu hal yang perlu diketahui bahwa dalam pembatalan dan
pengukuhan wilayah untuk menjadi sīmā,
para bhikkhu harus memenuhi semua
wilayah yang akan digunakan. Jarak antara satu bhikkhu dengan bhikkhu
lainnya tidak boleh melewati satu lengan. Jika jumlah bhikkhu tidak sepadan dengan luas sīmā, maka pembacaan pengukuhan sīmā harus diulang terus menerus sembari
berpindah dari satu petak ke petak selanjutnya sampai semua daerah sīmā selesai dikukuhkan.
Semua
aktivitas pembatalan wilayah sīmā,
penunjukkan nimitta,dan pengukuhan sīmā harus berlangsung di dalam wilayah sīmā. Oleh karena ituselama pembacaan
pembatalan, penunjukkan nimitta, dan
pengukuhan wilayah menjadi suatu sīmā,
tidak diperkenankan orang lain yang bukan bhikkhu
untuk berada di wilayah tersebut. Bahkan jika ada bhikkhu yang terlambat datang pada saat pembacaan pengukuhan sīmā dimulai, maka bhikkhu tersebut tidak diperkenankan memasuki wilayah. Hal ini
dikarenakan wilayah sīmā harus
selesai ditetapkan pada satu waktu yang sama pada hari itu juga. Jika hal itu
tidak dilakukan, maka penetapan sīmā
akan menjadi cacat, demikian pula sīmā
yang digunakan juga menjadi tidak sempurna. Hal ini jika dibiarkan akan
berimbas kepada semua aktivitas saṅghakamma
yang dilakukan dalam sīmā tersebut
menjadi saṅghakamma yang cacat.
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa pembentukan sīmā haruslah sempurna dan tidak memiliki celah kesalahan
sedikitpun.
Pada zaman
sekarang, baddha sīmā memiliki tiga
jenis. Ketiga jenis tersebut adalah kaṇḍasīmā,
mahāsīmā, dan gabungan dari kedua
bagian sīmā tersebut. Kaṇḍasīmā merupakan sīmā dalam bentuk ruangan uposatha
atau biasa disebut sebagai uposathagāra.
Di Indonesia, kaṇḍasīmā ini dapat
ditemukan misalnya di Vihāra Jakarta Dhammacakka Jaya dan Vihāra Padepokan
Dhammadīpa Ārāma. Sedangkan mahāsīmā
adalah suatu wilayah vihāra yang juga
merupakan sīmā.Sīmā yang terdiri dari gabungan kaṇḍasīmā
dan mahāsīmā berarti dalam satu
wilayah terdapat dua sīmā yang
bergabung menjadi satu dengan wilayah kaṇḍasīmā
di dalam mahāsīmā.
Di dalam
Mahāvagga juga disebutkan satu jenis sīmā,
yaitu nadīpārasīmā. Bentuk sīmā tersebut adalah sīmā yang terbelah di tengah oleh sebuah
sungai. Dengan demikian sīmā ini
memiliki wilayah yang terpisah oleh sungai.Nadīpārasīmā
ini merupakan perkenan khusus bagi daerah yang mana dilalui perahu secara rutin
atau jembatan. Dengan demikian bagian satu dengan bagian yang lainnya masih
dapat terhubung. Pada zaman sekarang, agaknya sīmā jenis ini sudah tidak ditemukan lagi. Oleh karena itu nadīpārasīmādi sini disebutkan sebagai
pelengkap saja.
Referensi
Vajirañāṇavarorasa,
Somdet Phra Mahā Samaṇa Chao Krom Phrayā. 1973. The Entrance to The Vinaya, Vinayamukha Volume Three. Bangkok:
Mahāmakut Rājavidyālaya Press.
No comments:
Post a Comment