Jenis sīmā yang kedua adalah abaddha
sīmā, yaitu sīmā yang tidak
tetap.Abaddha sīmā memiliki
karakteristik yang berbeda dengan baddha
sīmā.Abaddha sīmā tidak
memerlukan prosedur pengukuhan sīmā
seperti ketikan akan mengukuhkan baddha sīmā.
Somdet Vajirañāṇavarorasa (1973) menyebutkan terdapat berbagai macam jenis abaddha sīmā, yaitu gāmasīmā, visuṅgāmasīmā, sattabbhantarasīmā, dan udakukkhepa.
Gāmasīmā
Gāmasīmā
adalah sīmā yang dibatasi oleh
beberapa desa atau beberapa kota (nigāma).
Dalam kondisi tertentu bhikkhu Saṅgha
berdiam di suatu wilayah yang mana bebas dari hak milik dengan batas desa dan
kota. Tempat tersebut bisa saja digunakan sebagai sīmā yang sifatnya sementara. Jika wilayah tersebut telah
disepakati sebagai gāmasīmā, maka
para bhikkhu dapat melaksanakan uposatha bersama-sama dalam wilayah
tersebut.
Gāma
berarti rumah penduduk. Rumah tersebut bisa saja hanya satu, dua, atau tiga
rumah. Jika dalam suatu daerah terdapat kumpulan rumah penduduk, maka kumpulan
rumah tersebut biasa disebut sebagai desa. Para guru masa lampau mengatakan
bahwa desa adalah suatu wilayah yang mana pemerintah dapat mengenakan pajak
kepada penduduknya. Kumpulan dari beberapa desa akan membentuk kota. Jika Saṅgha
memutuskan batas wilayah sīmā adalah
kota, maka sīmā itu disebut sebagai nigāmasīmā.
Visuṅgāmasīmā
Para guru komentator menjelaskan visuṅgāma merupakan daerah desa atau
kota yang memiliki kekhususan. Daerah visuṅgāma
biasanya diberikan oleh raja kepada seseorang yang dianggap berjasa. Jika
para bhikkhu menetapkan suatu wilayah
sebagai abaddha sīmā yang berbatasan
dengan daerah visuṅgāma, maka sīmā tersebut adalah visuṅgāmasīmā.
Dalam hal bentuk sebenarnya gāmasīmā dan visuṅgāmasīmā memiliki kemiripan sebagai baddha sīmā. Perbedaannya, gāmasīmā
dan visuṅgāmasīmā tidak dikukuhkan
sebagai garis batas tetap.Visuṅgāmasīmā
dan gāmasīmā ini hanya sebagai sīmā sementara.
Sattabbhantarasīmā
Jika perkumpulan bhikkhu Saṅgha memutuskan untuk tinggal di dalam satu hutan
belantara yang mana tidak ada penduduk di sekitar hutan tersebut, maka mereka
juga harus membentuk sīmā sementara,
yaitu sattabhantarasīmā. Sīmā jenis ini adalah sīmā yang memiliki batas sepanjang tujuh
bhantara. Satu bhantara sama dengan dua puluh delapan bentangan lengan. Untuk
satuan ukuran zaman sekarang kira-kira adalah seratus meter. Ukuran ini adalah
untuk radius wilayah tersebut.
Sattabbhantarasīmā
biasa disebut juga sebagai araññāsīmā
(garis batas hutan) karena dibuat di dalam hutan belantara. Para bhikkhu pelaksana dhuṭaṅga yang tinggal di hutan dapat membuat sīmā ini selama bukan masa vassā.
Dengan demikian para bhikkhu tetap
dapat melaksanakan uposatha.
Udakukkhepa
Udakukkhepa
adalah sīmā yang dibatasi oleh air.
Hal ini mengacu pada wilayah perairan yang mana tidak dapat dibangun sebuah baddha sīmā di atasnya. Para bhikkhu yang tinggal di wilayah perairan
dapat saja menggunakan sīmā berupa udakukkhepa untuk melaksanakan uposatha. Batas dari udakukkhepa adalah sampai sejauh seorang
bhikkhu dapat melempar batu dengan
kekuatan normal. Sampai radius sejauh lemparan batu itulah wilayah udakukkhepa berlaku.
Wilayah perairan yang dapat digunakan
sebagai udakukkhepa adalah sungai,
samudera, dan danau. Sungai berarti daerah yang terus-menerus dialiri oleh air.
Meskipun pada musim kemarau, air di sungai tersebut tidaklah surut. Samudera
adalah daerah di mana sungai bermuara dan memiliki rasa air yang asin. Danau
yang dimaksud untuk dapat digunakan dalam udakukkhepa
adalah danau alami.
Saṅghakamma
yang dilakukan di atas wilayah air tersebut tentu menggunakan media khusus,
misalnya perahu atau rakit. Perahu atau rakit tersebut haruslah di tambarkan
dengan jangkar sehingga posisinya tidak bergeser. Hal ini dapat dimengerti
bahwa jarak di wilayah air tidak dapat diketahui dengan mudah. Sehingga untuk
mencegah perahu atau rakit keluar dari batas udakukkhepa, maka perahu atau rakit harus dibuat statis dengan
bantuan jangkar.
Referensi
Vajirañāṇavarorasa,
Somdet Phra Mahā Samaṇa Chao Krom Phrayā. 1973. The Entrance to The Vinaya, Vinayamukha Volume Three. Bangkok:
Mahāmakut Rājavidyālaya Press.
No comments:
Post a Comment