Friday, 2 May 2014

KĀLIKA

Kālika memiliki pengertian sebagai semua hal yang dapat ditelan. Dari pengertian tersebut, secara spesifik kālika mengacu kepada semua jenis makanan. Secara umum, makanan dapat saja berupa makanan padat maupun lunak, makanan yang mengenyangkan maupun makanan ringan, makanan yang tidak perlu diolah maupun hasil olahan. Dalam hal ini, semua jenis makanan itu disebut sebagai kālika.

Para bhikkhu tidak dapat mengkonsumsi semua jenis makanan pada waktu yang sembarangan. Semua jenis makanan tersebut memiliki batasan waktu untuk dapat dikonsumsi oleh para bhikkhu. Dalam peraturan kehidupan bhikkhu mengenai kālika, terdapat empat klasifikasi makanan yang dapat dikonsumsi berdasarkan batasan waktunya. Empat klasifikasi tersebut terdiri dari yāvakālika, yāmakālika, satthāhakālika, dan yāvajīvika.


Yāvakālika
Semua jenis makanan yang dapat dikonsumsi pada batas waktu mulai fajar atau pagi hari sampai tengah hari, disebut sebagai yāvakālika. Para bhikkhu dapat mengkonsumsi makanan yang termasuk jenis yāvakālika tersebut hingga pada tengah hari. Setelah melewati tengah hari, maka para bhikkhu tidak diperkenankan mengkonsumsi maupun menyimpan makanan tersebut.

Makanan yang termasuk dalam jenis yāvakālika adalah makanan seperti lima jenis makanan lembut (bhojana). Kelima jenis makanan lembut tersebut adalah makanan yang terbuat dari padi-padian, manisan basah yang terbuat dari biji-bijian, manisan kering, ikan, dan daging. Dalam hal ini, susu segar maupun susu asam juga termasuk dalam yāvakālika.

Padi-padian dan manisan tersebut dapat dibuat dari berbagai jenis tanaman padi maupun biji-bijian. Dalam Kanon Pāḷi disebutkan tujuh jenis tanaman yang dapat dibuat sebagai bhojana, yaitu gandum (sāli), beras (vīhi), beras ketan (yavo), padi-padian liar (godhumo), juwawut (kaṅgu), rumput-tumputan yang menghasilkan biji yang dapat dimakan (varako), dan padi-padian pendek (kudrūsako). Sedangkan kedua jenis manisan, yaitu manisan basah dan manisan kering dapat terbuat dari segala macam buah maupun biji-bijian, misalnya biji wijen.

Ikan yang dimaksud sebagai yāvakālika adalah semua jenis daging ikan laut maupun ikan air tawar. Udang-udangan, kepiting, kerang, dan hewan laut yang dapat dimakan juga termasuk jenis ikan-ikanan. Oleh karena itu, daging ikan tersebut tidak dapat dimakan setelah lewat tengah hari.

Daging yang dimaksud dalam yāvakālika adalah daging yang berasal dari hewan berkaki dua maupun berkaki empat. Darah yang kemudian diolah menjadi semacam darah beku juga termasuk dalam daging. Di dalam peraturan, para bhikkhu tidak diperkenankan mengkonsumsi daging manusia. Seorang bhikkhu yang mengkonsumsi daging manusia akan terkena pelanggaran thullacaya. Selain itu terdapat sembilan jenis daging hewan yang tidak boleh dikonsumsi bhikkhu, kesembilan jenis daging hewan tersebut adalah daging gajah, kuda, anjing, ular, singa, harimau, leopard, beruang, dan hiena. Kesembilan daging hewan tersebut jika dimakan oleh bhikkhu akan mengakibatkan yang bersangkutan terkena dukkata. Daging hewan yang lainnya boleh dimakan oleh seorang bhikkhu namun tidak boleh dalam keadaan mentah.

Peraturan lainnya mengenai daging yang dapat dikonsumsi oleh bhikkhu adalah harus memenuhi syarat bahwa bhikkhu tidak mendengar, melihat, dan mengira bahwa daging tersebut berasal dari hewan yang dipotong khusus untuk diolah dagingnya dan dipersembahkan kepada bhikkhu. Jika muncul salah satu saja dari ketiga hal tersebut, maka bhikkhu tidak diperkenankan mengkonsumsi daging yang dipersembahkan.

Di antara berbagai jenis buah, terdapat buah yang memiliki benih atau biji yang masih dapat tumbuh. Sedangkan seorang bhikkhu tidak diperkenankan untuk merusak benih. Oleh karena itu, untuk memakan buah yang memiliki benih, para bhikkhu tidak bisa sembarangan menggigit dan mengunyah buah tersebut dalam keadaan yang tidak sesuai. Misalnya seorang umat awam yang mempersembahkan buah mangga, tidak dapat mempersembahkan buah mangga dalam keadaan yang belum dikupas dan dipotong sehingga menjadi layak dikonsumsi. Jika ditemui hal demikian, maka para bhikkhu tetap dapat menerima dan kemudian meminta umat awam untuk menjadikan buah tersebut layak dikonsumsi dengan mengucapkan “Kapiyaṁ karohi,” yang berarti “Buatlah ini menjadi layak (untuk dimakan).” Umat awam harus menerima buah itu, mengupas dan memotongnya kemudian memberikan kepada bhikkhu dengan mengucapkan “Kapiyaṁ bhante,” yang berarti “Ini telah menjadi layak (untuk dimakan) bhante.” Untuk buah yang berukuran lebih kecil dan memiliki benih, kadang umat awam hanya perlu merusak kulit buah tersebut.

Seorang bhikkhu yang mengkonsumsi makanan yang termasuk yāvakālika setelah lewat tengah hari, akan melanggar pācittiya 37 tentang vikālabhojana. Sedangkan jika bhikkhu menerima persembahan makanan yang termasuk yāvakālika pada saat lewat tengah hari dan menyimpannya sampai satu malam kemudian mengkonsumsinya pada keesokan hari, maka bhikkhu tersebut melanggar pācittiia 38 tentang sannidhikāra.

Yāmakālika
Makanan yang dapat dikonsumsi dengan batas waktu satu hari satu malam, disebut sebagai yāmakālika. Dalam hal ini, Kanon Pāḷi memberikan petunjuk mengenai hal-hal yang termasuk dalam yāmakālika, yaitu delapan jenis minuman yang berasal dari perasan buah. Delapan jenis minuman dari perasan buah tersebut adalah perasan mangga (ambapānaṁ), perasan atau jus jambu (jambupānaṁ), perasan atau jus pisang berbiji (cocapānaṁ), perasan atau jus pisang tanpa biji (mocapānaṁ), jus dari buah pohon madu Bassia latifolia (madhukapānaṁ), jus anggur (muddikapānaṁ), jus akar lotus (sālukapānaṁ), dan jus leci (phārusakapānaṁ).

Umat dapat mempersembahkan berbagai jenis perasan atau jus buah tersebut dengan cara yang sesuai. Mereka harus memotong buah dan mengambil daging buahnya kemudian diletakkan diatas kain dan diperas. Beberapa buah yang susah diperas dapat saja menggunakan alat tertentu untuk mengmabil sari buahnya. Hal yang perlu diingat adalah yang dapat dipersembhakan kepada bhikkhu adalah sari buah, baik dicampur dengan air maupun tidak, tanpa menyertakan serat atau daging buahnya. Minuman perasan buah yang dibuat oleh umat awam ini dapat disimpan dan dikonsumsi dalam jangka waktu satu hari satu malam. Namun jika para bhikkhu membuatnya sendiri, maka jus tersebut termasuk yāvakālika dan hanya bisa dikonsumsi sampai tengah hari.

Minuman sari buah atau perasan buah, atau jus tersebut tidak boleh dimasak di atas api. Beberapa alasan yang logis adalah jika sari buah tersebut dipanaskan di atas api, maka kandungan vitamin dan mineral dalam sari buah tersebut akan banyak berkurang. Selain itu, jika sari buah itu adalah sari buah mangga, maka ia akan berubah menjadi pasta atau selai. Sari buah akan baik diminum jika dalam keadaan segar dan tidak diolah di atas api sama sekali.

Yāmakālika adalah minuman yang berasal dari buah-buah yang diambil sarinya terlebih dahulu. Minuman ini diperkenankan oleh Buddha untuk dikonsumsi setelah tengah hari dengan batas waktu satu malam. Sari buah yang disimpan melewati satu malam memungkinkan munculnya kadar alkohol. Jika seorang bhikkhu meminum atau menyimpan sari buah tersebut lewat dari satu malam, maka bhikkhu itu melakukan pelanggaran dukkata.

Sattāhakālika
Semua jenis makanan yang dapat disimpan dan dikonsumsi dalam jangka waktu tujuh hari, disebut sebagai sattāhakālika. Dalam hal ini, lima jenis obat obatan, yaitu ghee, mentega, minyak biji wijen, madu, dan gula molase adalah termasuk dalam sattāhakālika. Kelima hal itu disebut sebagai obat karena dapat menyembuhkan penyakit kuning ataupun meningkatkan daya tahan tubuh yang melemah.

Perlu diketahui bahwa kelima hal tersebut adalah bahan-bahan yang khusus untuk digunakan sebagai obat. Jadi, para bhikkhu diperkenankan menyimpan dan mengkonsumsinya untuk tujuh hari. Jika kelima bahan tersebut disimpan dan dikonsumsi lewat dari tujuh hari, maka bhikkhu yang bersangkutan akan terkena dukkata dan melanggar nissaggiya pācittiya. Tetapi jika kelima bahan tersebut tidak ditujukan untuk obat, maka bahan makanan tersebut tidak dapat disimpan selama tujuh hari dan hanya bisa dikonsumsi seperti yāvakālika atau tidak boleh lewat tengah hari.

Yāvajīvika
Semua bahan yang tidak termasuk dalam ketiga jenis kālika sebelumnya adalah bahan makanan yang dapat disimpan dan dikonsumsi seumur hidup. Dengan demikian, tidak ada batasan waktu dalam menyimpan dan mengkonsumsi bahan makanan ini. Oleh karena itu, bahan makanan itu disebut sebagai yāvajīvika, bahan yang dapat digunakan seumur hidup.

Adapun bahan-bahan yang termasuk dalam yāvajīvika adalah tanaman obat-obatan sebagai berikut:
  • Tanaman obat dari akar-akaran (mūlabhesajja), misalnya kunyit, jahe, ginseng, akar rumput gajah, dan tanaman obat akar-akaran lainnya.
  • Berbagai jenis jamu, misalnya jamu dari daun tanaman neem, jamu obat diare, dan jamu-jamu yang berasal dari tanaman obat lainnya.
  • Obat dari daun-daunan, misalnya obat yang berasal dari ekstrak daun neem dan sebagainya.
  • Obat dari buah-buahan, misalnya obat dari ekstrak buah jambu, ekstak buah pala, ekstak mirobalan, dan lain-lain.
  • Obat antioksidan atau vitamin.
  • Obat dari berbagai jenis garam, misalnya garam laut untuk obat gondok.

Dari penjelasan jenis-jenis yāvajīvika di atas, dapat diketahui bahwa bahan-bahan di atas bukan termasuk bahan makanan seperti dalam yāvakālika, yāmakālika, maupun sattāhakālika. Bahan dalam yāvajīvika adalah bahan yang khusus dibuat sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit. Oleh karena itu, bahan-bahan itu boleh disimpan seumur hidup dengan tujuan agar dapat digunakan ketika sakit.

Mencampur Kālika
Beberapa jenis kālika mungkin saja dapat dicampur. Dalam hal ini perlu juga diatur mengenai batasan penggunaan kālika yang dicampur tersebut. Batasan yang diberikan adalah sesuai dengan batas waktu yang paling pendek dari kālika yang dicampur. Misalnya jika seorang bhikkhu mencampur yāvakalika dan yāmakālika, maka batas waktu untuk mengkonsumsinya adalah mengikuti batas wakti yāvakālika. Selain itu, jika para bhikkhu telah menerima sattāhakālika atau yāvajīvika kemudian menyimpannya selama satu malam, maka bahan tersebut tidak dapat dicampur dengan yāvakālika atau yāmakālika.

Referensi
Vajirañāṇavarorasa, Somdet Phra Mahā Samaṇa Chao Krom Phrayā. 1973. The Entrance to The Vinaya, Vinayamukha Volume Two. Bangkok: Mahāmakut Rājavidyālaya Press.



No comments:

Post a Comment