Kālika
memiliki pengertian sebagai semua hal yang dapat ditelan. Dari pengertian
tersebut, secara spesifik kālika
mengacu kepada semua jenis makanan. Secara umum, makanan dapat saja berupa
makanan padat maupun lunak, makanan yang mengenyangkan maupun makanan ringan,
makanan yang tidak perlu diolah maupun hasil olahan. Dalam hal ini, semua jenis
makanan itu disebut sebagai kālika.
Para bhikkhu
tidak dapat mengkonsumsi semua jenis makanan pada waktu yang sembarangan. Semua
jenis makanan tersebut memiliki batasan waktu untuk dapat dikonsumsi oleh para bhikkhu. Dalam peraturan kehidupan bhikkhu mengenai kālika, terdapat empat klasifikasi makanan yang dapat dikonsumsi
berdasarkan batasan waktunya. Empat klasifikasi tersebut terdiri dari yāvakālika, yāmakālika, satthāhakālika,
dan yāvajīvika.
Yāvakālika
Semua jenis makanan yang dapat
dikonsumsi pada batas waktu mulai fajar atau pagi hari sampai tengah hari,
disebut sebagai yāvakālika. Para bhikkhu dapat mengkonsumsi makanan yang
termasuk jenis yāvakālika tersebut
hingga pada tengah hari. Setelah melewati tengah hari, maka para bhikkhu tidak diperkenankan mengkonsumsi
maupun menyimpan makanan tersebut.
Makanan yang termasuk dalam jenis yāvakālika adalah makanan seperti lima
jenis makanan lembut (bhojana).
Kelima jenis makanan lembut tersebut adalah makanan yang terbuat dari
padi-padian, manisan basah yang terbuat dari biji-bijian, manisan kering, ikan,
dan daging. Dalam hal ini, susu segar maupun susu asam juga termasuk dalam yāvakālika.
Padi-padian dan manisan tersebut dapat
dibuat dari berbagai jenis tanaman padi maupun biji-bijian. Dalam Kanon Pāḷi
disebutkan tujuh jenis tanaman yang dapat dibuat sebagai bhojana, yaitu gandum (sāli),
beras (vīhi), beras ketan (yavo), padi-padian liar (godhumo), juwawut (kaṅgu), rumput-tumputan yang menghasilkan biji yang dapat dimakan (varako), dan padi-padian pendek (kudrūsako). Sedangkan kedua jenis
manisan, yaitu manisan basah dan manisan kering dapat terbuat dari segala macam
buah maupun biji-bijian, misalnya biji wijen.
Ikan yang dimaksud sebagai yāvakālika adalah semua jenis daging
ikan laut maupun ikan air tawar. Udang-udangan, kepiting, kerang, dan hewan
laut yang dapat dimakan juga termasuk jenis ikan-ikanan. Oleh karena itu,
daging ikan tersebut tidak dapat dimakan setelah lewat tengah hari.
Daging yang dimaksud dalam yāvakālika adalah daging yang berasal
dari hewan berkaki dua maupun berkaki empat. Darah yang kemudian diolah menjadi
semacam darah beku juga termasuk dalam daging. Di dalam peraturan, para bhikkhu tidak diperkenankan mengkonsumsi
daging manusia. Seorang bhikkhu yang
mengkonsumsi daging manusia akan terkena pelanggaran thullacaya. Selain itu terdapat sembilan jenis daging hewan yang
tidak boleh dikonsumsi bhikkhu,
kesembilan jenis daging hewan tersebut adalah daging gajah, kuda, anjing, ular,
singa, harimau, leopard, beruang, dan hiena. Kesembilan daging hewan tersebut
jika dimakan oleh bhikkhu akan
mengakibatkan yang bersangkutan terkena dukkata.
Daging hewan yang lainnya boleh dimakan oleh seorang bhikkhu namun tidak boleh dalam keadaan mentah.
Peraturan lainnya mengenai daging yang
dapat dikonsumsi oleh bhikkhu adalah
harus memenuhi syarat bahwa bhikkhu
tidak mendengar, melihat, dan mengira bahwa daging tersebut berasal dari hewan
yang dipotong khusus untuk diolah dagingnya dan dipersembahkan kepada bhikkhu. Jika muncul salah satu saja
dari ketiga hal tersebut, maka bhikkhu
tidak diperkenankan mengkonsumsi daging yang dipersembahkan.
Di antara berbagai jenis buah, terdapat
buah yang memiliki benih atau biji yang masih dapat tumbuh. Sedangkan seorang bhikkhu tidak diperkenankan untuk
merusak benih. Oleh karena itu, untuk memakan buah yang memiliki benih, para bhikkhu tidak bisa sembarangan menggigit
dan mengunyah buah tersebut dalam keadaan yang tidak sesuai. Misalnya seorang
umat awam yang mempersembahkan buah mangga, tidak dapat mempersembahkan buah
mangga dalam keadaan yang belum dikupas dan dipotong sehingga menjadi layak
dikonsumsi. Jika ditemui hal demikian, maka para bhikkhu tetap dapat menerima dan kemudian meminta umat awam untuk
menjadikan buah tersebut layak dikonsumsi dengan mengucapkan “Kapiyaṁ karohi,” yang berarti “Buatlah
ini menjadi layak (untuk dimakan).” Umat
awam harus menerima buah itu, mengupas dan memotongnya kemudian memberikan
kepada bhikkhu dengan mengucapkan “Kapiyaṁ bhante,” yang berarti “Ini telah
menjadi layak (untuk dimakan) bhante.”
Untuk buah yang berukuran lebih kecil dan memiliki benih, kadang umat awam
hanya perlu merusak kulit buah tersebut.
Seorang bhikkhu yang mengkonsumsi makanan yang termasuk yāvakālika setelah lewat tengah hari,
akan melanggar pācittiya 37 tentang vikālabhojana. Sedangkan jika bhikkhu menerima persembahan makanan
yang termasuk yāvakālika pada saat
lewat tengah hari dan menyimpannya sampai satu malam kemudian mengkonsumsinya
pada keesokan hari, maka bhikkhu
tersebut melanggar pācittiia 38
tentang sannidhikāra.
Yāmakālika
Makanan yang dapat dikonsumsi dengan
batas waktu satu hari satu malam, disebut sebagai yāmakālika. Dalam hal ini, Kanon Pāḷi memberikan petunjuk mengenai
hal-hal yang termasuk dalam yāmakālika,
yaitu delapan jenis minuman yang berasal dari perasan buah. Delapan jenis
minuman dari perasan buah tersebut adalah perasan mangga (ambapānaṁ), perasan atau jus jambu (jambupānaṁ), perasan atau jus pisang berbiji (cocapānaṁ), perasan atau jus pisang tanpa biji (mocapānaṁ), jus dari buah pohon madu Bassia latifolia (madhukapānaṁ), jus anggur (muddikapānaṁ),
jus akar lotus (sālukapānaṁ), dan jus
leci (phārusakapānaṁ).
Umat dapat mempersembahkan berbagai
jenis perasan atau jus buah tersebut dengan cara yang sesuai. Mereka harus
memotong buah dan mengambil daging buahnya kemudian diletakkan diatas kain dan
diperas. Beberapa buah yang susah diperas dapat saja menggunakan alat tertentu
untuk mengmabil sari buahnya. Hal yang perlu diingat adalah yang dapat
dipersembhakan kepada bhikkhu adalah
sari buah, baik dicampur dengan air maupun tidak, tanpa menyertakan serat atau
daging buahnya. Minuman perasan buah yang dibuat oleh umat awam ini dapat
disimpan dan dikonsumsi dalam jangka waktu satu hari satu malam. Namun jika
para bhikkhu membuatnya sendiri, maka
jus tersebut termasuk yāvakālika dan
hanya bisa dikonsumsi sampai tengah hari.
Minuman sari buah atau perasan buah,
atau jus tersebut tidak boleh dimasak di atas api. Beberapa alasan yang logis
adalah jika sari buah tersebut dipanaskan di atas api, maka kandungan vitamin
dan mineral dalam sari buah tersebut akan banyak berkurang. Selain itu, jika
sari buah itu adalah sari buah mangga, maka ia akan berubah menjadi pasta atau
selai. Sari buah akan baik diminum jika dalam keadaan segar dan tidak diolah di
atas api sama sekali.
Yāmakālika
adalah minuman yang berasal dari buah-buah yang diambil sarinya terlebih
dahulu. Minuman ini diperkenankan oleh Buddha untuk dikonsumsi setelah tengah
hari dengan batas waktu satu malam. Sari buah yang disimpan melewati satu malam
memungkinkan munculnya kadar alkohol. Jika seorang bhikkhu meminum atau menyimpan sari buah tersebut lewat dari satu
malam, maka bhikkhu itu melakukan
pelanggaran dukkata.
Sattāhakālika
Semua jenis makanan yang dapat disimpan
dan dikonsumsi dalam jangka waktu tujuh hari, disebut sebagai sattāhakālika. Dalam hal ini, lima jenis
obat obatan, yaitu ghee, mentega, minyak biji wijen, madu, dan gula molase
adalah termasuk dalam sattāhakālika.
Kelima hal itu disebut sebagai obat karena dapat menyembuhkan penyakit kuning
ataupun meningkatkan daya tahan tubuh yang melemah.
Perlu diketahui bahwa kelima hal
tersebut adalah bahan-bahan yang khusus untuk digunakan sebagai obat. Jadi,
para bhikkhu diperkenankan menyimpan
dan mengkonsumsinya untuk tujuh hari. Jika kelima bahan tersebut disimpan dan
dikonsumsi lewat dari tujuh hari, maka bhikkhu
yang bersangkutan akan terkena dukkata dan melanggar nissaggiya pācittiya. Tetapi jika kelima bahan tersebut tidak
ditujukan untuk obat, maka bahan makanan tersebut tidak dapat disimpan selama
tujuh hari dan hanya bisa dikonsumsi seperti yāvakālika atau tidak boleh lewat tengah hari.
Yāvajīvika
Semua bahan yang tidak termasuk dalam
ketiga jenis kālika sebelumnya adalah
bahan makanan yang dapat disimpan dan dikonsumsi seumur hidup. Dengan demikian,
tidak ada batasan waktu dalam menyimpan dan mengkonsumsi bahan makanan ini.
Oleh karena itu, bahan makanan itu disebut sebagai yāvajīvika, bahan yang dapat digunakan seumur hidup.
Adapun bahan-bahan yang termasuk dalam yāvajīvika adalah tanaman obat-obatan
sebagai berikut:
- Tanaman obat dari akar-akaran (mūlabhesajja), misalnya kunyit, jahe, ginseng, akar rumput gajah, dan tanaman obat akar-akaran lainnya.
- Berbagai jenis jamu, misalnya jamu dari daun tanaman neem, jamu obat diare, dan jamu-jamu yang berasal dari tanaman obat lainnya.
- Obat dari daun-daunan, misalnya obat yang berasal dari ekstrak daun neem dan sebagainya.
- Obat dari buah-buahan, misalnya obat dari ekstrak buah jambu, ekstak buah pala, ekstak mirobalan, dan lain-lain.
- Obat antioksidan atau vitamin.
- Obat dari berbagai jenis garam, misalnya garam laut untuk obat gondok.
Dari penjelasan jenis-jenis yāvajīvika di atas, dapat diketahui
bahwa bahan-bahan di atas bukan termasuk bahan makanan seperti dalam yāvakālika, yāmakālika, maupun sattāhakālika.
Bahan dalam yāvajīvika adalah bahan yang
khusus dibuat sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit. Oleh karena itu,
bahan-bahan itu boleh disimpan seumur hidup dengan tujuan agar dapat digunakan
ketika sakit.
Mencampur
Kālika
Beberapa jenis kālika mungkin saja dapat dicampur. Dalam hal ini perlu juga diatur
mengenai batasan penggunaan kālika
yang dicampur tersebut. Batasan yang diberikan adalah sesuai dengan batas waktu
yang paling pendek dari kālika yang
dicampur. Misalnya jika seorang bhikkhu
mencampur yāvakalika dan yāmakālika, maka batas waktu untuk
mengkonsumsinya adalah mengikuti batas wakti yāvakālika. Selain itu, jika para bhikkhu telah menerima sattāhakālika
atau yāvajīvika kemudian menyimpannya
selama satu malam, maka bahan tersebut tidak dapat dicampur dengan yāvakālika atau yāmakālika.
Referensi
Vajirañāṇavarorasa,
Somdet Phra Mahā Samaṇa Chao Krom Phrayā. 1973. The Entrance to The Vinaya, Vinayamukha Volume Two. Bangkok:
Mahāmakut Rājavidyālaya Press.
No comments:
Post a Comment