Oleh: Rakay Sutamayapanna
Khantī paramaṁ tapo titikkhā’ti.
Kesabaran, ketabahan adalah cara melatih batin tertinggi.
(Dhammapada, 184)
Dalam
menjalani aktivitas sehari-hari, kita sering kali mengalami konflik secara
internal maupun eksternal. Konflik internal yang dimaksud di sini adalah
konflik dengan diri sendiri. Misalnya ketika kita telah memiliki target
tertentu yang ingin diwujudkan, namun kemampuan diri sendiri belum memadai. Hal
tersebut dapat menimbulkan kemarahan dan kekecewaan terhadap diri sendiri.
Sedangkan yang dimaksud dengan konflik eksternal adalah
permasalahan-permasalahan yang datang dari pihak luar. Misalnya masalah yang
terjadi karena hubungan sosial yang kurang sehat.
Salah satu
perasaan yang sering muncul ketika seseorang dihadapkan dengan konflik adalah
kemarahan. Kemarahan adalah keadaan di mana seseorang tidak dapat mengendalikan
dirinya karena kebencian yang meledak-ledak. Orang yang sedang dikuasai
kemarahan bisa saja langsung menyerang lawannya secara fisik maupun verbal.
Serangan secara fisik misalnya berupa penganiayaan, sedangkan secara verbal
biasanya adalah dengan mengucapkan kata-kata kasar.
Menggunakan
kemarahan dengan tujuan untuk dapat menyelesaikan konflik tentu saja bukanlah
hal yang bijaksana. Justru dalam kondisi marah, emosi seseorang sangat labil. Hal
ini hanya akan memicu pengambilan keputusan yang kurang tepat untuk
menyelesaikan konflik. Oleh karena itu, ketika seseorang merasa marah,
hendaknya ia mampu menahan ledakan kebencian yang ada pada dirinya terlebih
dahulu untuk dapat membuat emosinya kembali stabil.
Miṅgun Sayadaw (2009, hal:3583) merangkum
khotbah Buddha mengenai sembilan hal yang menyebabkan kemarahan. Sembilan hal
itu tercantum dalam Aṅguttara Pāḷi, Navaka
Nipāta, 1-Paṇṇāsaka,
3-Vagga, 9-Sutta, sebagai
berikut:
1. seseorang berpikir, “Ia telah menyebabkan
rusaknya kepentinganku,”
2. seseorang berpikir, “Ia sedang menyebabkan
rusaknya kepentinganku,”
3. seseorang berpikir, “Ia akan menyebabkan
rusaknya kepentinganku,”
4. seseorang berpikir, “Ia telah menyebabkan
rusaknya kepentingan temanku,”
5. seseorang berpikir, “Ia sedang menyebabkan
rusaknya kepentingan temanku,”
6. seseorang berpikir, “Ia akan menyebabkan
rusaknya kepentingan temanku,”
7. seseorang berpikir, “Ia telah mendukung
kepentingan musuhku,”
8. seseorang berpikir, “Ia sedang mendukung
kepentingan musuhku,”
9. seseorang berpikir, “Ia akan mendukung
kepentingan musuhku.”
Selain itu
Miṅgun Sayadaw
(2009, hal:3583) ada pula yang disebut sebagai kemarahan yang tidak rasional.
Misalnya seseorang yang marah karena hujan yang terlalu lebat, panas yang
terlalu terik, ataupun angin yang terlalu kencang. Jika muncul kemarahan
terhdap hal-hal tersebut, di mana seseorang tidak perlu marah, maka kemarahan
tersebut adalah kemarahan yang tidak rasional.
Kemarahan
adalah keadaan batin yang tidak baik, oleh karena itu kemarahan perlu
dikendalikan bahkan dilenyapkan. Namun bukanlah perkara yang mudah untuk dapat
mengendalikan amarah. Dalam Dhammapada,
Buddha memberikan analogi yang sangat tepat. Buddha menjelaskan bahwa seseorang
yang mampu menahan amarah yang sedang memuncak, bagaikan seseorang yang menahan
laju kereta kuda yang sedang melaju kencang, orang yang demikian itu patut
disebut sebagai sais (pengendali) sejati. (Dhammapada,
222).
Dengan cara
bagaimanakah seseorang dapat menahan bahkan menghilangkan kemarahan? Hal ini
memang menjadi acuan penting dalam ajaran Buddha. Seperti halnya saran-saran
Buddha yang lainnya, yaitu untuk mengalahkan kebencian adalah dengan
mengembangkan cinta kasih. Demikian pula ketika seseorang ingin mengalahkan
kemarahan, tidak ada cara lain selain dengan mengembangkan kesabaran.
Kesabaran
memiliki arti yang lebih dari sekadar keadaan tanpa kemarahan. Seseorang yang
tidak menghadapi konflik, batinnya mungkin saja tidak mengandung kemarahan. Hal
itu belum berarti kesabaran telah dipraktikkan. Itu hanya berupa keadaan batin
yang tanpa kemarahan (akkodha).
Dalam hal
yang bagaimanakah seseorang dikatakan telah mempraktikkan kesabaran (khantī)? Kesabaran
dipraktikkan ketika seseorang mengalami serangan, baik secara fisik maupun
secara verbal, yang mana serangan tersebut memiliki potensi untuk memunculkan
kemarahan. Jika seseorang dihina, dicela, maupun dianiaya secara fisik, tetapi di
dalam diri orang tersebut tidak muncul kemarahan, saat itulah kesabaran
dipraktikkan.
Lebih luas
dari pada itu, kesabaran tidak hanya dipraktikkan ketika seseorang mengalami
hal-hal yang tidak menyenangkan. Kesabaran juga harus dipraktikkan ketika
seseorang mengalami hal yang menyenangkan. Tujuan dari mempraktikkan kesabaran
ketika mengalami hal-hal yang menyenangkan adalah untuk mencegah munculnya
keserakahan. Jika seseorang tidak mempraktikkan kesabaran pada situasi
demikian, maka keserakahan akan dengan mudah menguasainya dan menimbulkan
kelekatan terhadap hal yang menyenangkan tersebut.
Jadi
seseorang hendaknya tidak terlalu larut dalam kegembiraan saat menerima hal-hal
yang menyenangkan. Terlalu larut dalam kegembiraan dapat menimbulkan
keserakahan berkembang. Demikian pula ketika seseorang mengalami hal-hal yang
tidak menyenangkan, hendaknya ia tidak terlalu larut dalam kekecewaan. Terlalu
larut dalam kekecewaan akan menimbulkan kemarahan yang berarti mengembangkan
kebencian. Orang yang dapat mengendalikan diri ketika mengalami hal-hal
tersebut di ataslah yang dikatakan sebagai orang yang benar-benar sabar.
Referensi:
Dhammapada Sabda-sabda Buddha Gotama. Jakarta: Dewi kayana Abadi. 2005.
Miṅgun Sayadaw. Riwayat Agung Para Buddha The Great Chroniclr of Buddhas 3. Tanpa
Kota: Girimaṅgala
publications dan Ehipassiko Foundation. 2009.
Penjelasan yang bagus sekali, terima kasih telah berbagi :)
ReplyDelete