Saturday, 10 May 2014

KESABARAN TANPA BATAS

Oleh: Rakay Sutamayapanna

Khantī paramaṁ tapo titikkhā’ti.
Kesabaran, ketabahan adalah cara melatih batin tertinggi.
(Dhammapada, 184)

Dalam menjalani aktivitas sehari-hari, kita sering kali mengalami konflik secara internal maupun eksternal. Konflik internal yang dimaksud di sini adalah konflik dengan diri sendiri. Misalnya ketika kita telah memiliki target tertentu yang ingin diwujudkan, namun kemampuan diri sendiri belum memadai. Hal tersebut dapat menimbulkan kemarahan dan kekecewaan terhadap diri sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan konflik eksternal adalah permasalahan-permasalahan yang datang dari pihak luar. Misalnya masalah yang terjadi karena hubungan sosial yang kurang sehat.

Salah satu perasaan yang sering muncul ketika seseorang dihadapkan dengan konflik adalah kemarahan. Kemarahan adalah keadaan di mana seseorang tidak dapat mengendalikan dirinya karena kebencian yang meledak-ledak. Orang yang sedang dikuasai kemarahan bisa saja langsung menyerang lawannya secara fisik maupun verbal. Serangan secara fisik misalnya berupa penganiayaan, sedangkan secara verbal biasanya adalah dengan mengucapkan kata-kata kasar.


Menggunakan kemarahan dengan tujuan untuk dapat menyelesaikan konflik tentu saja bukanlah hal yang bijaksana. Justru dalam kondisi marah, emosi seseorang sangat labil. Hal ini hanya akan memicu pengambilan keputusan yang kurang tepat untuk menyelesaikan konflik. Oleh karena itu, ketika seseorang merasa marah, hendaknya ia mampu menahan ledakan kebencian yang ada pada dirinya terlebih dahulu untuk dapat membuat emosinya kembali stabil.

Migun Sayadaw (2009, hal:3583) merangkum khotbah Buddha mengenai sembilan hal yang menyebabkan kemarahan. Sembilan hal itu tercantum dalam  Aguttara Pāḷi, Navaka Nipāta, 1-Paṇṇāsaka, 3-Vagga, 9-Sutta, sebagai berikut:
1.      seseorang berpikir, “Ia telah menyebabkan rusaknya kepentinganku,”
2.      seseorang berpikir, “Ia sedang menyebabkan rusaknya kepentinganku,”
3.      seseorang berpikir, “Ia akan menyebabkan rusaknya kepentinganku,”
4.      seseorang berpikir, “Ia telah menyebabkan rusaknya kepentingan temanku,”
5.      seseorang berpikir, “Ia sedang menyebabkan rusaknya kepentingan temanku,”
6.      seseorang berpikir, “Ia akan menyebabkan rusaknya kepentingan temanku,”
7.      seseorang berpikir, “Ia telah mendukung kepentingan musuhku,”
8.      seseorang berpikir, “Ia sedang mendukung kepentingan musuhku,”
9.      seseorang berpikir, “Ia akan mendukung kepentingan musuhku.”

Selain itu Migun Sayadaw (2009, hal:3583) ada pula yang disebut sebagai kemarahan yang tidak rasional. Misalnya seseorang yang marah karena hujan yang terlalu lebat, panas yang terlalu terik, ataupun angin yang terlalu kencang. Jika muncul kemarahan terhdap hal-hal tersebut, di mana seseorang tidak perlu marah, maka kemarahan tersebut adalah kemarahan yang tidak rasional.

Kemarahan adalah keadaan batin yang tidak baik, oleh karena itu kemarahan perlu dikendalikan bahkan dilenyapkan. Namun bukanlah perkara yang mudah untuk dapat mengendalikan amarah. Dalam Dhammapada, Buddha memberikan analogi yang sangat tepat. Buddha menjelaskan bahwa seseorang yang mampu menahan amarah yang sedang memuncak, bagaikan seseorang yang menahan laju kereta kuda yang sedang melaju kencang, orang yang demikian itu patut disebut sebagai sais (pengendali) sejati. (Dhammapada, 222).

Dengan cara bagaimanakah seseorang dapat menahan bahkan menghilangkan kemarahan? Hal ini memang menjadi acuan penting dalam ajaran Buddha. Seperti halnya saran-saran Buddha yang lainnya, yaitu untuk mengalahkan kebencian adalah dengan mengembangkan cinta kasih. Demikian pula ketika seseorang ingin mengalahkan kemarahan, tidak ada cara lain selain dengan mengembangkan kesabaran.

Kesabaran memiliki arti yang lebih dari sekadar keadaan tanpa kemarahan. Seseorang yang tidak menghadapi konflik, batinnya mungkin saja tidak mengandung kemarahan. Hal itu belum berarti kesabaran telah dipraktikkan. Itu hanya berupa keadaan batin yang tanpa kemarahan (akkodha).

Dalam hal yang bagaimanakah seseorang dikatakan telah mempraktikkan kesabaran (khantī)? Kesabaran dipraktikkan ketika seseorang mengalami serangan, baik secara fisik maupun secara verbal, yang mana serangan tersebut memiliki potensi untuk memunculkan kemarahan. Jika seseorang dihina, dicela, maupun dianiaya secara fisik, tetapi di dalam diri orang tersebut tidak muncul kemarahan, saat itulah kesabaran dipraktikkan.

Lebih luas dari pada itu, kesabaran tidak hanya dipraktikkan ketika seseorang mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Kesabaran juga harus dipraktikkan ketika seseorang mengalami hal yang menyenangkan. Tujuan dari mempraktikkan kesabaran ketika mengalami hal-hal yang menyenangkan adalah untuk mencegah munculnya keserakahan. Jika seseorang tidak mempraktikkan kesabaran pada situasi demikian, maka keserakahan akan dengan mudah menguasainya dan menimbulkan kelekatan terhadap hal yang menyenangkan tersebut.

Jadi seseorang hendaknya tidak terlalu larut dalam kegembiraan saat menerima hal-hal yang menyenangkan. Terlalu larut dalam kegembiraan dapat menimbulkan keserakahan berkembang. Demikian pula ketika seseorang mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, hendaknya ia tidak terlalu larut dalam kekecewaan. Terlalu larut dalam kekecewaan akan menimbulkan kemarahan yang berarti mengembangkan kebencian. Orang yang dapat mengendalikan diri ketika mengalami hal-hal tersebut di ataslah yang dikatakan sebagai orang yang benar-benar sabar.

Referensi:
Dhammapada Sabda-sabda Buddha Gotama. Jakarta: Dewi kayana Abadi. 2005.

Migun Sayadaw. Riwayat Agung Para Buddha The Great Chroniclr of Buddhas 3. Tanpa Kota: Girimagala publications dan Ehipassiko Foundation. 2009.

1 comment:

  1. Penjelasan yang bagus sekali, terima kasih telah berbagi :)

    ReplyDelete