Pengertian
Vatta
Para bhikkhu memiliki tugas-tugas yang harus diselesaikan. |
Dalam kehidupan sehari-hari, para bhikkhu memiliki tugas-tugas yang harus
dikerjakan. Dalam Kanon Pāḷi, terdapat satu bagian yang memuat keterangan dari
tugas-tugas yang harus dilakukan oleh para bhikkhu.
Bagian itu disebut sebagai vatta.
Dengan demikian, vatta adalah
kumpulan berbagai petunjuk tentang tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh bhikkhu yang disesuaikan antara waktu,
tempat, jenis tugas, dan orang yang melaksanakan tugas.
Selain menjaga peraturan kemoralan (sīlasampanno), seorang bhikkhu juga harus melaksankan
tugas-tugas (vatta) dengan baik. Jika
seorang bhikkhu melaksanakan
tugas-tugas (vatta) dengan baik, maka
bhikkhu tersebut layak dihormati. Bhikkhu yang melaksanakan tugas dengan
baik biasanya mendapat sebutan sebagai ācārasampanno,
yang artinya seseorang yang berperilaku baik. Selain itu, bhikkhu tersebut juga bisa dikatakan sebagai vattasampano atau seseorang yang yang telah melakukan tugas-tugas
dengan baik. Oleh karena itu, pelaksanaan vatta
ini juga menunjang para bhikkhu dalam
merawat sīla.
Jenis-jenis
Vatta
Tugas-tugas para bhikkhu dikelompokkan menjadi tiga jenis. Ketiga kelompok tersebut
adalah kiccavatta, cariyavatta, dan vidhivatta. Ketiganya akan dibahas lebih
lanjut sebagai berikut.
Kiccavatta
Kiccavatta
adalah tugas-tugas yang sifatnya wajib dilakukan oleh para bhikkhu. Terdapat sepuluh hal yang termasuk sebagai tugas-tugas
wajib para bhikkhu. Kesepuluh hal
tersebut adalah tugas saddhīvihārika,
tugas upajjhāya, tugas bhikkhu tamu, tugas bhikkhu yang tinggal di vihāra,
tugas bhikkhu yang hendak pergi dari
suatu vihāra, tugas bhikkhu yang hendak pergi piṇḍapata, tugas bhikkhu yang hendak menyantap makanan, tugas bhikkhu yang tinggal di kūṭi,
tugas bhikkhu yang hendak menggunakan
toilet, dan tugas bhikkhu dalam
merawat bhikkhu lain yang sakit.
1) Tugas Saddhīvihārika
Seorang saddhīvihārika (siswa) harus merawat gurunya selama ia hidup
bergantung dengan gurunya tersebut. Adapun tugas-tugas saddhīvihārika adalah:
·
merawat
upajjhāya atau guru dengan
mempersiapkan kebutuhan sehari-hari,
·
menerima
instruksi atau arahan dari gurunya,
·
mencegah
perilaku menyimpang yang mungkin bisa timbul pada gurunya,
·
menjaga
gurunya agar dalam keadaan yang bahagia,
·
menghormati
gurunya,
·
tidak
pergi sembarangan meninggalkan gurunya,
·
merawat
gurunya yang sakit sampai gurunya sembuh atau meninggal.
2) Tugas Upajjhāya
Seorang
upajjhāya (guru) haruslah bersikap
dermawan dan menyayangi siswanya. Adapun tugas-tugas guru kepada siswa adalah:
·
memberikan
pendidikan kepada siswanya,
·
menyediakan
peralatan kebutuhan siswa seperti mangkok, jubah, dan peralatan lainnya,
·
mencegas
penyimpangan yang mungkin timbul dalam diri siswanya,
·
merawat
siswanya yang sakit sampai siswanya sembuh atau meninggal.
3) Tugas Bhikkhu Tamu
Seorang
bhikkhu yang mengunjungi suatu vihāra disebut sebagai bhikkhu tamu. Bhikkhu tamu tersebut juga memiliki tugas-tugas yang wajib
dikerjakan. Adapun tugas dari bhikkhu
tamu adalah:
·
menghormati
bhikkhu yang tinggal di vihāra,
·
melihat
kondisi atau hal-hal yang dikerjakan oleh bhikkhu
yang tinggal di vihāra,
·
menunjukkan
tutur kata dan perilaku yang sopan dan santun,
·
menunjukkan
bahwa dirinya merasa bahagia dan nyaman bertemu dengan bhikkhu yang tinggal di vihāra,
·
apabila
ingin tinggal lebih lama atau menginap, bhikkhu
tamu haruslah menyeseuaikan diri untuk melaksanakan kegiatan yang telah menjadi
kebiasaan di vihāra tersebut,
·
turut serta dalam menjaga dan merawat
lingkungan vihāra.
Seorang
bhikkhu yang menunjungi suatu vihāra maka selayaknya bhikkhu tersebut menghormati bhikkhu yang tinggal dalam vihāra tersebut. Jika bhikkhu yang tinggal di vihāra adalah bhikkhu yang lebih senior, maka bhikkhu
tamu wajib memberikan penghormatan terlebih dahulu. Bhikkhu tamu juga harus melihat apakah bhikkhu yang tinggal di vihāra
sedang melakukan pekerjaan tertentu. Jika bhikkhu
yang tinggal di vihāra sedang
melakukan pekerjaan yang kemudian harus ditinggalkan karena menyambut bhikkhu tamu, maka selayaknya bhikkhu tamu ini tidak diam berlama-lama
di vihāra yang dikunjungi.
Selayaknya
seorang yang sedang bertamu, bhikkhu
tamu juga harus bertutur kata dan berperilaku yang sopan dan santun. Bhikkhu tamu tersebut juga harus
menunjukkan bahwa dirinya merasa nyaman bersama dengan bhikkhu yang tinggal di vihāra
tersebut. Jika bhikkhu tamu ini
hendak menginap, maka ia wajib mengikuti peraturan dan kegiatan yang biasa
dilakukan oleh para bhikkhu yang
tinggal di vihāra tersebut. Selain
itu, bhikkhu tamu juga wajib ikut
memelihara kebersihan lingkungan vihāra
yang dikunjunginya.
4) Tugas Bhikkhu yang
Tinggal di Vihāra
Jika seorang bhikkhu tamu datang berkunjung, bhikkhu
yang tinggal di vihāra tersebut
memiliki tugas untuk menyambut kedatangan bhikkhu
tamu dengan baik. Adapun tugas bhikkhu
yang tinggal di vihāra tersebut
adalah:
·
menyambut
kedatangan bhikkhu tamu,
·
menghormati
bhikkhu tamu yang datang,
·
menyapa
bhikkhu tamu yang datang sesuai
dengan tingkat senioritas,
·
menyediakan tempat tinggal (kūṭi) bagi bhikkhu tamu yang hendak menginap.
Seorang bhikkhu yang tinggal di suatu vihāra hendaknya pergi menyambut bhikkhu tamu yang mengunjungi vihāra tersebut. Bhikkhu penghuni hendaknya meninggalkan pekerjaannya terlebih
dahulu untuk menyambut bhikkhu tamu.
Tetapi jika bhikkhu penghuni tersebut
sedang membuat obat untuk bhikkhu
yang sakit, maka pekerjaannya tersebut harus cepat-cepat diselesaikan kemudian
pergi menyambut bhikkhu tamu.
Jika bhikkhu tamu yang datang lebih senior,
maka bhikkhu penghuni hendaknya
berdiri menyambut kedantang bhikkhu
tamu. Kemudian mempersilahkan bhikkhu
tamu tersebut untuk duduk di tempat yang tinggi. Bhikkhu penghuni bisa membantu membersihkan sandal dari bhikkhu tamu, memijit kaki, dan
mengipasi, dan menyediakan minum jika bhikkhu
tamu berkenan. Tetapi jika bhikkhu
tamu yang datang lebih junior, maka bhikkhu
penghuni hanya perlu menunjukkan tempat duduk yang sesuai, dan menunjukkan
tempat untuk minum. Dengan cara demikian, bhikkhu
penghuni menghormati bhikkhu tamu.
Berkenaan dengan kata
sapaan, jika bhikkhu tamu lebih
senior, maka selayaknya bhikkhu
penghuni menyapa dengan menggunakan sapaan bhante
(guru). Tetapi jika bhikkhu tamu
adalah lebih junior, maka bhikkhu
penghuni bisa menyapa dengan sapaan avuso
(sahabat). Dengan cara ini, seorang bhikkhu
tamu akan merasa bahagia dan akrab bersama dengan bhikkhu penghuni.
Jika bhikkhu tamu berkeinginan untuk
menginap, maka bhikkhu penghuni wajib
memberitahu tempat tinggal yang sesuai bagi bhikkhu
tamu tersebut. Selain itu, bhikkhu
penghuni juga harus menunjukkan jalan yang dapat dilalui dengan aman. Kemudian
juga perlu untuk memberitahu batas-batas wilayah vihāra. Serta memberikan petunjuk mengenai kegiatan rutin yang
dilaksanakan oleh para bhikkhu yang
tinggal di vihāra tersebut.
5) Tugas Bhikkhu yang
Hendak Pergi dari Vihāra
Seorang
bhikkhu yang hendak pergi
meninggalkan vihāra memiliki
tugas-tugas sebagai berikut:
·
merapikan
tempat tinggal (kūṭi) terlebih dahulu
sebelum pergi,
·
menyerahkan
kembali tempat tinggal atau kunci pintu kūṭi
kepada bhikkhu yang tinggal di vihāra,
·
berpamitan kepada bhikkhu penghuni vihāra.
Jika seorang bhikkhu hendak meninggalkan vihāra, maka bhikkhu tersebut wajib merapikan kūṭi yang digunakan. Jika misalnya kūṭi tersebut mengalami kerusakan, hendaknya bhikkhu tersebut memperbaikinya terlebih dahulu. Setelah tempat
tinggalnya rapi, maka bhikkhu tersebut
harus menyerahkan kūṭi atau kunci
pintu kūṭi kepada bhikkhu penghuni vihāra. Selayaknya seorang tamu yang hendak pergi dari tempat yang
dikunjungi, bhikkhu tamu harus
berpamitan terlebih dahulu kepada bhikkhu
penghuni sebelum meninggalkan suatu vihāra.
6) Tugas Bhikkhu yang
Hendak Pergi Piṇḍapatta
Seorang
bhikkhu yang hendak pergi ke tempat
penduduk untuk mengumpulkan dana makanan, memiliki tugas-tugas sebagai berikut:
·
memakai
semua jubah secara rapi dan tertutup kedua belah bahu,
·
membawa
mangkok yang dibalut di dalam jubah dan hanya mengeluarkannya hanya ketika menerima
dana makanan,
·
menjaga
sikap yang pantas ketika berada di tempat penduduk,
·
mengendalikan
pikiran dan perhatiannya selama berada di tempat penduduk,
·
menerima
dana makanan dari umat dengan kewaspadaan dan pengendalian diri,
·
bhikkhu yang lebih awal
kembali ke vihāra setelah menerima
dana makanan harus mempersiapkan tempat makan, sedangkan bhikkhu yang datang paling akhir harus membersihkan tempat makan
ketika semua bhikkhu usai menyantap
makanan.
Tugas-tugas para bhikkhu ketika mengumpulkan dana makanan
dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku bhikkhu
saat memasuki tempat penduduk. Dengan perilaku yang terkendali, para bhikkhu akan aman dan tidak mendapat
gangguan-gangguan.
7) Tugas Bhikkhu yang
Hendak Menyantap Makanan
Bhikkhu
yang hendak menyantap makanan, haruslah melakukan hal-hal berikut ini:
·
mengenakan
jubah secara rapi,
·
mengambil
tempat duduk yang sesuai untuk dirinya,
·
menerima
dengan senang hati dana makanan dari umat yang datang,
·
bhikkhu senior harus
menunggu memulai menyantap makanan sebelum semua bhikkhu mendapatkan makanan (*tempat memungkinkan bhikkhu senior melihat semua bhikkhu),
·
makan
makanan dengan pengendalian diri sesuai dengan sekhiyadhamma,
·
menyelesaikan
makan pada waktu yang sama dengan bhikkhu
yang lain,
·
berhati-hati
ketika berkumur dan mencuci tangan agar tidak sampai terpercik ke jubah,
·
membaca
anumodāna gaṭhā untuk umat yang
berdana makanan,
·
tidak
bergerombol ketika meninggalkan tempat makan,
·
tidak membuang air bekas pencuci patta di tempat penduduk.
Hal-hal
di atas wajib dilakukan oleh para bhikkhu
ketika akan, sedang, dan setelah menyantap makanan. Tujuannya adalah untuk
mengendalikan perilaku para bhikkhu
agar tetap memiliki perhatian ketika sedang makan. Kemudian sebagai ungkapan
terima kasih, biasanya para bhikkhu
menguncarkan anumodāna gaṭhā untuk
para umat yang berdana makanan.
8) Tugas Bhikkhu yang
Tinggal di Kūṭi
Seorang bhikkhu yang tinggal di dalam kūṭi
memiliki kewajiban sebagai berikut:
·
tidak
mengotori tempat tinggalnya,
·
membersihkan
tempat tinggalnya,
·
berhati-hati
agar tidak sampai merusak tempat tinggal maupun peralatan yang ada di dalam
tempat tinggalnya,
·
menyediakan
air minum di dalam tempat tinggalnya,
·
tidak memindahkan barang-barang di dalam
tempat tinggal ke tempat lain.
Seorang
bhikkhu yang tinggal di kūṭi wajib untuk menjaga kebersihan
tempat tinggalnya tersebut. Oleh karena itu para bhikkhu tidak boleh mengotori tempat tinggalnya dengan membuang
sampah sembarangan. Selain itu, bhikkhu
harus selalu membersihkan kūṭi secara
teratur. Ketika menggunakan peralatan yang ada di dalam kūṭi, para bhikkhu harus
berhati-hati agar tidak sampai merusaknya. Barang-barang tersebut juga tidak
boleh dipindahkan ke tempat lain karena akan menyulitkan bhikkhu lain yang akan menggunakan tempat itu di waktu yang akan
datang. Dengan melaksanakan hal-hal di atas, para bhikkhu akan merasa tenang dan nyaman tinggal di dalam kūṭi.
9) Tugas Bhikkhu yang
Hendak Menggunakan Toilet
Seorang
bhikkhu hendaknya dapat mengendalikan
diri ketika melakukan semua aktivitas. Demikian pula ketika bhikkhu hendak menggunakan toilet.
Beberapa hal yang harus dilakukan oleh bhikkhu
yang hendak menggunakan toilet antara lain:
·
menggunakan
toilet sesuai dengan urutan dari tibanya para bhikkhu di toilet,
·
mengontrol
tingkah-lakunya ketika menggunakan toilet,
·
tahu
cara melindungi peralatan kebutuhannya ketika hendak menggunakan toilet,
·
tahu
cara melindungi tubuhnya ketika mengguanakn toilet,
·
tidak
mengerjakan hal-hal lain ketika buang air besar, buang air kecil, atau mandi,
·
berhati-hati
agar tidak membuat toilet menjadi kotor,
·
menjaga kebersihan toilet.
Aktivitas
di dalam toilet, seperti misalnya buang air besar, buang air kecil, atau mandi,
biasa disebut sebagai vaccakuṭī. Pada
saat melakukan aktivitas tersebut, para bhikkhu
hendaknya dapat mengendalikan diri dan menjaga toilet tetap bersih. Dengan
demikian, para bhikkhu akan dapat
merasa nyaman ketika menggunakan toilet.
10) Tugas Bhikkhu
Ketika Merawat Bhikkhu Sakit
Apabila
terdapat bhikkhu yang sakit, maka
selayaknya para bhikkhu sebagai teman
Dhamma merawatnya. Merawat bhikkhu yang sakit adalah kewajiban yang
tidak boleh dilupakan. Buddha bersabda:
"Oh
para bhikkhu, kamu tidak mempunyai
baik ayah maupun ibu, oleh karena itu apabila kamu tidak saling merawat, siapa
lagi yang akan merawat kamu? Apabila seseorang bhikkhu berharap untuk merawat diri-Ku, maka biarkanlah bhikkhu itu merawat bhikkhu yang sakit. Apabila di sana terdapat upajjhāya, ācariya, saddhivihārika atau antevāsika dari bhikkhu
yang sakit, maka biarkanlah mereka merawat dia hingga ia baik, sembuh maupun
mati. Apabila di sana tidak ada bhikkhu-bhikkhu
lain, upajjhāya atau ācariya haruslah merawat dia. Apabila bhikkhu yang sakit itu sendirian,
biarkanlah Saṅgha merawat dia."
Para bhikkhu bisa saja secara bergiliran
merawat bhikkhu yang sakit tersebut.
Jika misalnya bhikkhu yang sakit
sedang tinggal sendirian, maka Saṅgha
harus menunjuk bhikkhu yang khusus
untuk merawat bhikkhu yang sakit
dalam jangka waktu tertentu. Jika pada batas waktu yang ditentukan bhikkhu yang sakit belum juga sembuh,
maka bisa saja mengirim bhikkhu lain
untuk menggantikan tugas bhikkhu perawat
yang sebelumnya.
Bhikkhu yang sedang sakit hendaknya
membuat dirinya mudah dirawat. Bhikkhu
tersebut hendaknya memudahkan tugas bhikkhu
yang merawatnya. Bhikkhu yang sakit
harus mudah dinasihati dan mengkonsumsi obat sesuai dengan petunjuk bhikkhu yang merawatnya. Dengan
demikian, dirinya akan dapat diaharapkan segera sembuh dari penyakitnya.
Cariyavatta
Cariyavatta
berasal
dari dua kata, yaitu cariya yang
berarti perilaku dan vatta yang
berarti tugas. Cariyavatta memiliki
pengertian sebagai tugas-tugas yang berkenaan dengan perilaku. Adapun hal-hal
yang tercakup dalam cariyavatta akan
dijelaskan pada uraian di bawah ini.
1)
Para bhikkhu tidak
diperkenankan menginjak kain putih yang sengaja digelar oleh umat yang
mengundang para bhikkhu untuk hadir.
Larangan bagi para bhikkhu agar tidak menginjak kain putih
ini berasal dari cerita yang terdapat dalam Bodhirajakumara
Sutta. Secara singkat diceritakan bahwa seorang pangeran yang belum
memiliki putera maupun puteri mengundang Buddha dan para bhikkhu untuk menerima dana makanan. Pada waktu itu pangeran
tersebut sengaja menggelar kain putih dari pintu masuk sampai ke tempat ruang
makan. Pangeran ini kemudian berkata, “Jika Buddha dan para bhikkhu menginjak kain putih ini, maka
aku akan mendapatkan putera atau puteri. Namun jika tidak, maka aku tidak akan
memiliki putera maupun puteri.” Pada akhirnya, Buddha tidak menginjakkan kaki
Beliau dan juga melarang para bhikkhu
menginjak kain putih yang digelar. Namun tidak dijelaskan mengenai alasan
Buddha tidak menginjak kain putih tersebut.
Pada masa sekarang ini,
latar belakang cerita dalam Bodhirajakumara
Sutta tersebut telah menjadi kebiasaan bagi para bhikkhu. Para bhikkhu
tidak akan menginjak kain putih yang digelar dalam upacara. Alasan yang lagis
lainnya adalah jika para bhikkhu
menginjak kain yang berwarna putih, maka akan tampak jejak kaki yang justru
membuat kain menjadi terlihat kotor.
2)
Para bhikkhu tidak
diperkenankan duduk di atas tempat duduk (āsana)
tanpa memberi pertimbangan terlebih dahulu.
Seorang bhikkhu yang hendak duduk di suatu
tempat duduk hendaknya memeriksa dulu keadaan tempat duduk. Misalnya dengan
melihat ataupun meraba tempat duduk dan memeriksa apakah ada benda-benda
tertentu yang berada di atas tempat duduk tersebut. Setelah memastikan bahwa
tempat duduk tersebut layak untuk diduduki, barulah para bhikkhu secara perlahan-lahan duduk di atasnya.
3)
Bhikkhu tidak diperkenankan
duduk satu tempat duduk yang panjang bersama dengan seorang wanita atau orang
lain yang memiliki kelainan seksual.
Tempat duduk panjang
yang dimaksud adalah bangku panjang yang bisa diduduki paling tidak dua orang.
Bisa saja bangku tersebut merupakan potongan kayu atau terbuat dari batu, atau
bahan bangunan lainnya yang sengaja dibangun dan dapat digunakan sebagai tempat
duduk. Temapt duduk tersebut juga bisa berada di taman, pinggir jalan, atau
tempat-tempat lainnya.
Seorang bhikkhu yang hendak duduk di tempat
duduk panjang tersebut, hendaknya memperhatikan peraturan ini. Para bhikkhu tidak pantas duduk dalam satu
tempat duduk bersama dengan wanita atau orang yang memiliki kelainan seksual. Namun
demikian, bhikkhu boleh duduk satu
tempat duduk bersama dengan laki-laki normal meskipun laki-laki tersebut
bukanlah seorang bhikkhu.
4)
Jika seorang bhikkhu
junior sedang makan, bhikkhu senior
tidak boleh membuatnya pindah dari tempat duduknya.
Jika para bhikkhu sedang menyantap makanan,
kemudian seorang bhikkhu senior
datang, biasanya para bhikkhu junior
akan mempersilahkan bhikkhu senior
untuk duduk ditempat yang sesuai. Hal tersebut membuat bhikkhu junior harus bangkit dari tempat duduknya. Melihat hal itu,
bhikkhu senior hendaknya
mempersilahkan bhikkhu junior untuk
melanjutkan makan makanannya dan tidak perlu bangkit dari duduknya. Bhikkhu senior tersebut kemudian dapat
mengambil tempat duduk lain yang masih kosong. Namun demikian, jika bhikkhu senior ingin duduk di tempat
duduk yang memang semestinya ia duduk, maka bhikkhu
junior harus segera bangkit dari duduknya dan memberikan tempat duduk tersebut
kepada bhikkhu senior yang datang.
5)
Jika seorang bhikkhu
hendak istirahat pada siang hari, hendaknya menutup pintu kūṭi dengan baik.
Peraturan
ini dibuat untuk menjaga bhikkhu yang
sedang beristirahat di dalam tempat pribadinya, misalnya di dalam kūṭi. Selain itu tujuannya adalah agar
jika ada orang lain datang atau sekadar lewat, maka orang tersebut tidak akan
melihat bhikkhu yang bersangkutan
dalam keadaan tidur. Dengan demikian, seorang bhikkhu yang hendak beristirahat hendaknya mencari tempat pribadi
dan menutup pintunya. Jika tidak memungkinkan menutup pintu, tempat istirahat
tersebut tetap harus dihalangi dengan suatu benda yang dapat digunakan untuk
menutupi dirinya yang sedang beristirahat.
6)
Seorang bhikkhu tidak
diperkenankan membuang secara sembarangan atau melempar sampah atau kotoran
keluar dari kūṭi.
Seorang bhikkhu yang secara sembarangan melempar
sampah atau kotoran keluar dari dinding atau kūṭi adalah seseorang yang memiliki perangai buruk. Hal tersebut
dapat membuat lingkungan menjadi kotor dan tidak nyaman. Oleh karena itu, para bhikkhu hendaknya tidak membuang sampah
atau kotoran sembarangan dan tetap menjaga lingkungan sekitarnya.
7)
Seorang bhikkhu tidak
diperkenankan pergi untuk melihat atau mendengan pertunjukan musik,
tari-tarian, dan nyanyi-nyanyian.
Para bhikkhu tidak pantas menyenangkan diri
dengan menikmati berbagai macam hiburan. Hiburan-hiburan tersebut bisa saja
berupa pertunjukan tari, nyanyian, musik, maupun hiburan lainnya. Dalam hal
ini, perlu dipahami bahwa para bhikkhu
tidak diperkenankan memiliki tujuan untuk pergi ke suatu tempat untuk menghibur
diri melalui hal-hal tersebut di atas.
Seorang bhikkhu tidak akan melanggar peraturan
ini jika tidak memiliki niat atau tujuan untuk melihat tari-tarian, nyanyia,
dan musik. Misalnya jika seorang bhikkhu
diundang ke suatu upacara peresmian vihāra
kemudian di tengah-tengah acara terdapat acara hiburan seperti nyanyian,
tarian, atau musik. Dengan demikian jika bhikkhu
tidak memiliki tujuan untuk menyenangkan diri dalam tarian, musik, amupun
nyanyian, maka bhikkhu tersebut tidak
melanggar peraturan ini.
8)
Seorang bhikkhu tidak
diperkenankan membabarkan Dhamma
dengan gaya dan intonasi yang dilagukan.
Para bhikkhu hendaknya tidak membabarkan Dhamma dengan cara dilagukan. Hal
tersebut memungkinkan para bhikkhu
menjadi salah ucap dalam membabarkan ajaran. Mungkin juga umat akan merasa
senang hanya dengan lantunan atau intonasi cara bicara dari bhikkhu dan justru tidak mengerti esensi
atau makna sebenarnya dari Dhamma
yang disampaikan. Membabarkan Dhamma
dengan menggunakan Dhamma sebagai
bahan bercanda juga tidak diperkenankan. Hal tersebut mungkin dapat
mendatangkan gelak tawa dari pendengar, tetapi tidak memberikan pemahaman
secara benar.
9)
Para bhikkhu dilarang
menyentuh atau memegang benda-benda yang tergolong anāmāsa.
Terdapat berbagai hal
yang disebut sebagai anāmāsa, hal-hal
yang tidak dapat disentuh atau dipegang oleh bhikkhu. Hal tersebut adalah:
·
Wanita,
termasuk busana wanita, gambar atau foto wanita, bahkan binatang bergender
betina;
·
Emas,
perak, berlian, dan barang-barang berharga lainnya;
·
Berbagai
jenis senjata yang biasa digunakan untuk melukai atau membunuh makhluk lain;
·
Perangkap
atau jebakan seperti jaring ikan atau jebakan untuk menngkap hewan;
·
Semua
jenis alat musik;
·
Biji-bijian
atau buah yang masih berada di tanaman yang menghasilkan buah atau biji-bijian
tersebut.
Para
bhikkhu tidak pantas menyentuh
hal-hal di atas karena akan menyebabkan bhikkhu
dituduh memiliki perilaku yang buruk. Misalnya saja para bhikkhu tidak diperkenankan untuk bermain alat musik, oleh karena
itu sebagai konsekuensinya semua jenis alat musik adalah anāmāsa bagi para bhikkhu.
Vidhivatta
Vidhivatta
adalah tugas-tugas yang harus dilaksanakan sesuai dengan metode atau cara yang
diberikan. Hal-hal yang termasuk dalam vidhivatta
adalah:
1)
Metode menggunakan jubah
Para bhikkhu harus menggunakan jubah secara
rapi. Hal ini seperti yang ditengkan dalam bab sebelumnya tentang alat-alat
kebutuhan bhikkhu. Antaravāsaka hendaknya dipakai dengan
cara melibat jubah dalam menutupi pusar hingga lutut namun tidak sampai menutup
mata kaki. Jubah luar harus digunakan sesuai dengan tempat bhikkhu berada. Jika bhikkhu
berada di tempat penduduk, maka jubah luar harus dikenakan menutupi kedua bahu.
Sedangkan jika bhikkhu berada di
dalam lingkungan vihāra atau sedang
melakukan tugas-tugas vinaya dan Saṅgha, maka jubah luar digunakan dengan
cara membuka bahu kanan.
2)
Metode melipat jubah
Jubah bhikkhu tidak boleh dilipat sembarangan.
Jubah harus dilipat sedemikian rupa sehingga membuatnya tidak kusut dan tetap
awet. Jubah bhikkhu hendaknya dilipat
dengan menyatukan ujung jubah terlebih dahulu. Setelah itu melipat kembali
maisng-maisng bagian pinggir ke tengah dan dilipat menjadi satu tumpukan yang
rapi.
3)
Metode menyimpan mangkok
Mangkok tidak boleh
ditaruh atau disimpan di sembarang tempat. Mangkok yang tidak memiliki tatakan
kaki, harus disimpan di tempat yang aman atau di bawah kolong tempat tidur
dengan cara meletakkan bagian mulut mangkok di bawah. Mangkok juga bisa
disimpan dengan menggunakan tas mangkok.
4)
Metode membuka atau menutup jendela pada musim yang sesuai
Pada musim dingin, para
bhikkhu hendaknya membuka jendela kūṭi pada pagi sampai sore hari dan
menutupnya pada malam hari. Sedangkan pada musim panas, bhikkhu hendaknya menutup jendela pada pagi sampai sore hari dan
membukanya pada petang hingga malam hari. Tujuan dari peraturan ini adalah
untuk memberikan kenyamamn bagi para bhikkhu
yang tidaggal di dalam kūṭi selama
musim tersebut. Oleh karena itu perlu dimengerti bahwa dalam peraturan ini
jendela hendaknya dibuka dan ditutup sesuai dengan kondisi iklim, dan tidak
perlu membuka jendela terlau lebar.
5)
Metode mengipasi bhikkhu
senior
Pada musim panas, bhikkhu senior bisa saja meminta bhikkhu junior untuk mengipasi dirinya.
Cara untuk mengipasi bhikkhu senior
adalah mengipasi bagian tubuh secara berurutan mulai dari kaki, badan, dan
kepala masing-masing sebanyak satu kali kemudian mengulanginya lagi. Atau jika
merasa sungkan atau tidak diminta, bhikkhu
junior boleh mengipasi bagian kaki dan badan saja tanpa mengipasi kelapa dari bhikkhu senior tersebut.
6)
Metode para bhikkhu
berjalan
Para bhikkhu yang hendak berjalan tidak
diperkenankan untuk berjalan secara bergerombol. Mereka harus berjalan dengan
membentuk satu barisan. Biasanya urutan berjalan tersebut juga menunjukkan
urutan senioritas dari para bhikkhu.
Jarak satu bhikkhu dengan bhikkhu lainnya paling tidak adalah
sejarak dua lengan. Hal tersebut bertujuan agar memudahkan orang lain yang
hendak lewat di antara barisan bhikkhu.
Tugas-tugas yang harus dilakukan sesuai
dengan metode ini tidak disusun membentuk pola-pola tertentu. Biasanya vidhivatta ini juga diterapkan dengan
cara yang berbeda. Hal tersebut memungkinkan para bhikkhu tidak melakukan tugas sesuai prosedur atau metode ini dan
menggantinya dengan cara yang baru. Oleh karena itu, lama-kelamaan peraturan
ini akan ditinggalkan sampai benar-benar hilang.
Referensi
Vajirañāṇavarorasa,
Somdet Phra Mahā Samaṇa Chao Krom Phrayā. 1973. The Entrance to The Vinaya, Vinayamukha Volume Two. Bangkok:
Mahāmakut Rājavidyālaya Press.
No comments:
Post a Comment