Wednesday, 26 March 2014

PERATURAN BHIKKHU TENTANG TUGAS-TUGAS (VATTA)


Pengertian Vatta
PERATURAN BHIKKHU TENTANG TUGAS-TUGAS (VATTA)
Para bhikkhu memiliki tugas-tugas
yang harus diselesaikan.
Dalam kehidupan sehari-hari, para bhikkhu memiliki tugas-tugas yang harus dikerjakan. Dalam Kanon Pāḷi, terdapat satu bagian yang memuat keterangan dari tugas-tugas yang harus dilakukan oleh para bhikkhu. Bagian itu disebut sebagai vatta. Dengan demikian, vatta adalah kumpulan berbagai petunjuk tentang tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh bhikkhu yang disesuaikan antara waktu, tempat, jenis tugas, dan orang yang melaksanakan tugas.

Selain menjaga peraturan kemoralan (sīlasampanno), seorang bhikkhu juga harus melaksankan tugas-tugas (vatta) dengan baik. Jika seorang bhikkhu melaksanakan tugas-tugas (vatta) dengan baik, maka bhikkhu tersebut layak dihormati. Bhikkhu yang melaksanakan tugas dengan baik biasanya mendapat sebutan sebagai ācārasampanno, yang artinya seseorang yang berperilaku baik. Selain itu, bhikkhu tersebut juga bisa dikatakan sebagai vattasampano atau seseorang yang yang telah melakukan tugas-tugas dengan baik. Oleh karena itu, pelaksanaan vatta ini juga menunjang para bhikkhu dalam merawat sīla.


Jenis-jenis Vatta
Tugas-tugas para bhikkhu dikelompokkan menjadi tiga jenis. Ketiga kelompok tersebut adalah kiccavatta, cariyavatta, dan vidhivatta. Ketiganya akan dibahas lebih lanjut sebagai berikut.

Kiccavatta
Kiccavatta adalah tugas-tugas yang sifatnya wajib dilakukan oleh para bhikkhu. Terdapat sepuluh hal yang termasuk sebagai tugas-tugas wajib para bhikkhu. Kesepuluh hal tersebut adalah tugas saddhīvihārika, tugas upajjhāya, tugas bhikkhu tamu, tugas bhikkhu yang tinggal di vihāra, tugas bhikkhu yang hendak pergi dari suatu vihāra, tugas bhikkhu yang hendak pergi piṇḍapata, tugas bhikkhu yang hendak menyantap makanan, tugas bhikkhu yang tinggal di kūṭi, tugas bhikkhu yang hendak menggunakan toilet, dan tugas bhikkhu dalam merawat bhikkhu lain yang sakit.

1) Tugas Saddhīvihārika
            Seorang saddhīvihārika (siswa) harus merawat gurunya selama ia hidup bergantung dengan gurunya tersebut. Adapun tugas-tugas saddhīvihārika adalah:
·         merawat upajjhāya atau guru dengan mempersiapkan kebutuhan sehari-hari,
·         menerima instruksi atau arahan dari gurunya,
·         mencegah perilaku menyimpang yang mungkin bisa timbul pada gurunya,
·         menjaga gurunya agar dalam keadaan yang bahagia,
·         menghormati gurunya,
·         tidak pergi sembarangan meninggalkan gurunya,
·         merawat gurunya yang sakit sampai gurunya sembuh atau meninggal.

2) Tugas Upajjhāya
            Seorang upajjhāya (guru) haruslah bersikap dermawan dan menyayangi siswanya. Adapun tugas-tugas guru kepada siswa adalah:
·         memberikan pendidikan kepada siswanya,
·         menyediakan peralatan kebutuhan siswa seperti mangkok, jubah, dan peralatan lainnya,
·         mencegas penyimpangan yang mungkin timbul dalam diri siswanya,
·         merawat siswanya yang sakit sampai siswanya sembuh atau meninggal.

3) Tugas Bhikkhu Tamu
            Seorang bhikkhu yang mengunjungi suatu vihāra disebut sebagai bhikkhu tamu. Bhikkhu tamu tersebut juga memiliki tugas-tugas yang wajib dikerjakan. Adapun tugas dari bhikkhu tamu adalah:
·         menghormati bhikkhu yang tinggal di vihāra,
·         melihat kondisi atau hal-hal yang dikerjakan oleh bhikkhu yang tinggal di vihāra,
·         menunjukkan tutur kata dan perilaku yang sopan dan santun,
·         menunjukkan bahwa dirinya merasa bahagia dan nyaman bertemu dengan bhikkhu yang tinggal di vihāra,
·         apabila ingin tinggal lebih lama atau menginap, bhikkhu tamu haruslah menyeseuaikan diri untuk melaksanakan kegiatan yang telah menjadi kebiasaan di vihāra tersebut,
·         turut serta dalam menjaga dan merawat lingkungan vihāra.
Seorang bhikkhu yang menunjungi suatu vihāra maka selayaknya bhikkhu tersebut menghormati bhikkhu yang tinggal dalam vihāra tersebut. Jika bhikkhu yang tinggal di vihāra adalah bhikkhu yang lebih senior, maka bhikkhu tamu wajib memberikan penghormatan terlebih dahulu. Bhikkhu tamu juga harus melihat apakah bhikkhu yang tinggal di vihāra sedang melakukan pekerjaan tertentu. Jika bhikkhu yang tinggal di vihāra sedang melakukan pekerjaan yang kemudian harus ditinggalkan karena menyambut bhikkhu tamu, maka selayaknya bhikkhu tamu ini tidak diam berlama-lama di vihāra yang dikunjungi.
Selayaknya seorang yang sedang bertamu, bhikkhu tamu juga harus bertutur kata dan berperilaku yang sopan dan santun. Bhikkhu tamu tersebut juga harus menunjukkan bahwa dirinya merasa nyaman bersama dengan bhikkhu yang tinggal di vihāra tersebut. Jika bhikkhu tamu ini hendak menginap, maka ia wajib mengikuti peraturan dan kegiatan yang biasa dilakukan oleh para bhikkhu yang tinggal di vihāra tersebut. Selain itu, bhikkhu tamu juga wajib ikut memelihara kebersihan lingkungan vihāra yang dikunjunginya.


4) Tugas Bhikkhu yang Tinggal di Vihāra
            Jika seorang bhikkhu tamu datang berkunjung, bhikkhu yang tinggal di vihāra tersebut memiliki tugas untuk menyambut kedatangan bhikkhu tamu dengan baik. Adapun tugas bhikkhu yang tinggal di vihāra tersebut adalah:
·         menyambut kedatangan bhikkhu tamu,
·         menghormati bhikkhu tamu yang datang,
·         menyapa bhikkhu tamu yang datang sesuai dengan tingkat senioritas,
·         menyediakan tempat tinggal (kūṭi) bagi bhikkhu tamu yang hendak menginap.
Seorang bhikkhu yang tinggal di suatu vihāra hendaknya pergi menyambut bhikkhu tamu yang mengunjungi vihāra tersebut. Bhikkhu penghuni hendaknya meninggalkan pekerjaannya terlebih dahulu untuk menyambut bhikkhu tamu. Tetapi jika bhikkhu penghuni tersebut sedang membuat obat untuk bhikkhu yang sakit, maka pekerjaannya tersebut harus cepat-cepat diselesaikan kemudian pergi menyambut bhikkhu tamu.
Jika bhikkhu tamu yang datang lebih senior, maka bhikkhu penghuni hendaknya berdiri menyambut kedantang bhikkhu tamu. Kemudian mempersilahkan bhikkhu tamu tersebut untuk duduk di tempat yang tinggi. Bhikkhu penghuni bisa membantu membersihkan sandal dari bhikkhu tamu, memijit kaki, dan mengipasi, dan menyediakan minum jika bhikkhu tamu berkenan. Tetapi jika bhikkhu tamu yang datang lebih junior, maka bhikkhu penghuni hanya perlu menunjukkan tempat duduk yang sesuai, dan menunjukkan tempat untuk minum. Dengan cara demikian, bhikkhu penghuni menghormati bhikkhu tamu.
Berkenaan dengan kata sapaan, jika bhikkhu tamu lebih senior, maka selayaknya bhikkhu penghuni menyapa dengan menggunakan sapaan bhante (guru). Tetapi jika bhikkhu tamu adalah lebih junior, maka bhikkhu penghuni bisa menyapa dengan sapaan avuso (sahabat). Dengan cara ini, seorang bhikkhu tamu akan merasa bahagia dan akrab bersama dengan bhikkhu penghuni.
Jika bhikkhu tamu berkeinginan untuk menginap, maka bhikkhu penghuni wajib memberitahu tempat tinggal yang sesuai bagi bhikkhu tamu tersebut. Selain itu, bhikkhu penghuni juga harus menunjukkan jalan yang dapat dilalui dengan aman. Kemudian juga perlu untuk memberitahu batas-batas wilayah vihāra. Serta memberikan petunjuk mengenai kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh para bhikkhu yang tinggal di vihāra tersebut.

5) Tugas Bhikkhu yang Hendak Pergi dari Vihāra
            Seorang bhikkhu yang hendak pergi meninggalkan vihāra memiliki tugas-tugas sebagai berikut:
·         merapikan tempat tinggal (kūṭi) terlebih dahulu sebelum pergi,
·         menyerahkan kembali tempat tinggal atau kunci pintu kūṭi kepada bhikkhu yang tinggal di vihāra,
·         berpamitan kepada bhikkhu penghuni vihāra.
Jika seorang bhikkhu hendak meninggalkan vihāra, maka bhikkhu tersebut wajib merapikan kūṭi yang digunakan. Jika misalnya kūṭi tersebut mengalami kerusakan, hendaknya bhikkhu tersebut memperbaikinya terlebih dahulu. Setelah tempat tinggalnya rapi, maka bhikkhu tersebut harus menyerahkan kūṭi atau kunci pintu kūṭi kepada bhikkhu penghuni vihāra. Selayaknya seorang tamu yang hendak pergi dari tempat yang dikunjungi, bhikkhu tamu harus berpamitan terlebih dahulu kepada bhikkhu penghuni sebelum meninggalkan suatu vihāra.

6) Tugas Bhikkhu yang Hendak Pergi Piṇḍapatta
            Seorang bhikkhu yang hendak pergi ke tempat penduduk untuk mengumpulkan dana makanan, memiliki tugas-tugas sebagai berikut:
·         memakai semua jubah secara rapi dan tertutup kedua belah bahu,
·         membawa mangkok yang dibalut di dalam jubah dan hanya mengeluarkannya hanya ketika menerima dana makanan,
·         menjaga sikap yang pantas ketika berada di tempat penduduk,
·         mengendalikan pikiran dan perhatiannya selama berada di tempat penduduk,
·         menerima dana makanan dari umat dengan kewaspadaan dan pengendalian diri,
·         bhikkhu yang lebih awal kembali ke vihāra setelah menerima dana makanan harus mempersiapkan tempat makan, sedangkan bhikkhu yang datang paling akhir harus membersihkan tempat makan ketika semua bhikkhu usai menyantap makanan.

Tugas-tugas para bhikkhu ketika mengumpulkan dana makanan dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku bhikkhu saat memasuki tempat penduduk. Dengan perilaku yang terkendali, para bhikkhu akan aman dan tidak mendapat gangguan-gangguan.

7) Tugas Bhikkhu yang Hendak Menyantap Makanan
            Bhikkhu yang hendak menyantap makanan, haruslah melakukan hal-hal berikut ini:
·         mengenakan jubah secara rapi,
·         mengambil tempat duduk yang sesuai untuk dirinya,
·         menerima dengan senang hati dana makanan dari umat yang datang,
·         bhikkhu senior harus menunggu memulai menyantap makanan sebelum semua bhikkhu mendapatkan makanan (*tempat memungkinkan bhikkhu senior melihat semua bhikkhu),
·         makan makanan dengan pengendalian diri sesuai dengan sekhiyadhamma,
·         menyelesaikan makan pada waktu yang sama dengan bhikkhu yang lain,
·         berhati-hati ketika berkumur dan mencuci tangan agar tidak sampai terpercik ke jubah,
·         membaca anumodāna gaṭhā untuk umat yang berdana makanan,
·         tidak bergerombol ketika meninggalkan tempat makan,
·         tidak membuang air bekas pencuci patta di tempat penduduk.
Hal-hal di atas wajib dilakukan oleh para bhikkhu ketika akan, sedang, dan setelah menyantap makanan. Tujuannya adalah untuk mengendalikan perilaku para bhikkhu agar tetap memiliki perhatian ketika sedang makan. Kemudian sebagai ungkapan terima kasih, biasanya para bhikkhu menguncarkan anumodāna gaṭhā untuk para umat yang berdana makanan.
8) Tugas Bhikkhu yang Tinggal di Kūṭi
            Seorang bhikkhu yang tinggal di dalam kūṭi memiliki kewajiban sebagai berikut:
·         tidak mengotori tempat tinggalnya,
·         membersihkan tempat tinggalnya,
·         berhati-hati agar tidak sampai merusak tempat tinggal maupun peralatan yang ada di dalam tempat tinggalnya,
·         menyediakan air minum di dalam tempat tinggalnya,
·         tidak memindahkan barang-barang di dalam tempat tinggal ke tempat lain.
Seorang bhikkhu yang tinggal di kūṭi wajib untuk menjaga kebersihan tempat tinggalnya tersebut. Oleh karena itu para bhikkhu tidak boleh mengotori tempat tinggalnya dengan membuang sampah sembarangan. Selain itu, bhikkhu harus selalu membersihkan kūṭi secara teratur. Ketika menggunakan peralatan yang ada di dalam kūṭi, para bhikkhu harus berhati-hati agar tidak sampai merusaknya. Barang-barang tersebut juga tidak boleh dipindahkan ke tempat lain karena akan menyulitkan bhikkhu lain yang akan menggunakan tempat itu di waktu yang akan datang. Dengan melaksanakan hal-hal di atas, para bhikkhu akan merasa tenang dan nyaman tinggal di dalam kūṭi.

9) Tugas Bhikkhu yang Hendak Menggunakan Toilet
            Seorang bhikkhu hendaknya dapat mengendalikan diri ketika melakukan semua aktivitas. Demikian pula ketika bhikkhu hendak menggunakan toilet. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh bhikkhu yang hendak menggunakan toilet antara lain:
·         menggunakan toilet sesuai dengan urutan dari tibanya para bhikkhu di toilet,
·         mengontrol tingkah-lakunya ketika menggunakan toilet,
·         tahu cara melindungi peralatan kebutuhannya ketika hendak menggunakan toilet,
·         tahu cara melindungi tubuhnya ketika mengguanakn toilet,
·         tidak mengerjakan hal-hal lain ketika buang air besar, buang air kecil, atau mandi,
·         berhati-hati agar tidak membuat toilet menjadi kotor,
·         menjaga kebersihan toilet.
Aktivitas di dalam toilet, seperti misalnya buang air besar, buang air kecil, atau mandi, biasa disebut sebagai vaccakuṭī. Pada saat melakukan aktivitas tersebut, para bhikkhu hendaknya dapat mengendalikan diri dan menjaga toilet tetap bersih. Dengan demikian, para bhikkhu akan dapat merasa nyaman ketika menggunakan toilet.

10) Tugas Bhikkhu Ketika Merawat Bhikkhu Sakit
            Apabila terdapat bhikkhu yang sakit, maka selayaknya para bhikkhu sebagai teman Dhamma merawatnya. Merawat bhikkhu yang sakit adalah kewajiban yang tidak boleh dilupakan. Buddha bersabda:

"Oh para bhikkhu, kamu tidak mempunyai baik ayah maupun ibu, oleh karena itu apabila kamu tidak saling merawat, siapa lagi yang akan merawat kamu? Apabila seseorang bhikkhu berharap untuk merawat diri-Ku, maka biarkanlah bhikkhu itu merawat bhikkhu yang sakit. Apabila di sana terdapat upajjhāya, ācariya, saddhivihārika atau antevāsika dari bhikkhu yang sakit, maka biarkanlah mereka merawat dia hingga ia baik, sembuh maupun mati. Apabila di sana tidak ada bhikkhu-bhikkhu lain, upajjhāya atau ācariya haruslah merawat dia. Apabila bhikkhu yang sakit itu sendirian, biarkanlah Saṅgha merawat dia."

            Para bhikkhu bisa saja secara bergiliran merawat bhikkhu yang sakit tersebut. Jika misalnya bhikkhu yang sakit sedang tinggal sendirian, maka Saṅgha harus menunjuk bhikkhu yang khusus untuk merawat bhikkhu yang sakit dalam jangka waktu tertentu. Jika pada batas waktu yang ditentukan bhikkhu yang sakit belum juga sembuh, maka bisa saja mengirim bhikkhu lain untuk menggantikan tugas bhikkhu perawat yang sebelumnya.
            Bhikkhu yang sedang sakit hendaknya membuat dirinya mudah dirawat. Bhikkhu tersebut hendaknya memudahkan tugas bhikkhu yang merawatnya. Bhikkhu yang sakit harus mudah dinasihati dan mengkonsumsi obat sesuai dengan petunjuk bhikkhu yang merawatnya. Dengan demikian, dirinya akan dapat diaharapkan segera sembuh dari penyakitnya.

Cariyavatta
Cariyavatta berasal dari dua kata, yaitu cariya yang berarti perilaku dan vatta yang berarti tugas. Cariyavatta memiliki pengertian sebagai tugas-tugas yang berkenaan dengan perilaku. Adapun hal-hal yang tercakup dalam cariyavatta akan dijelaskan pada uraian di bawah ini.

1)        Para bhikkhu tidak diperkenankan menginjak kain putih yang sengaja digelar oleh umat yang mengundang para bhikkhu untuk hadir.
Larangan bagi para bhikkhu agar tidak menginjak kain putih ini berasal dari cerita yang terdapat dalam Bodhirajakumara Sutta. Secara singkat diceritakan bahwa seorang pangeran yang belum memiliki putera maupun puteri mengundang Buddha dan para bhikkhu untuk menerima dana makanan. Pada waktu itu pangeran tersebut sengaja menggelar kain putih dari pintu masuk sampai ke tempat ruang makan. Pangeran ini kemudian berkata, “Jika Buddha dan para bhikkhu menginjak kain putih ini, maka aku akan mendapatkan putera atau puteri. Namun jika tidak, maka aku tidak akan memiliki putera maupun puteri.” Pada akhirnya, Buddha tidak menginjakkan kaki Beliau dan juga melarang para bhikkhu menginjak kain putih yang digelar. Namun tidak dijelaskan mengenai alasan Buddha tidak menginjak kain putih tersebut.
Pada masa sekarang ini, latar belakang cerita dalam Bodhirajakumara Sutta tersebut telah menjadi kebiasaan bagi para bhikkhu. Para bhikkhu tidak akan menginjak kain putih yang digelar dalam upacara. Alasan yang lagis lainnya adalah jika para bhikkhu menginjak kain yang berwarna putih, maka akan tampak jejak kaki yang justru membuat kain menjadi terlihat kotor.
2)        Para bhikkhu tidak diperkenankan duduk di atas tempat duduk (āsana) tanpa memberi pertimbangan terlebih dahulu.
Seorang bhikkhu yang hendak duduk di suatu tempat duduk hendaknya memeriksa dulu keadaan tempat duduk. Misalnya dengan melihat ataupun meraba tempat duduk dan memeriksa apakah ada benda-benda tertentu yang berada di atas tempat duduk tersebut. Setelah memastikan bahwa tempat duduk tersebut layak untuk diduduki, barulah para bhikkhu secara perlahan-lahan duduk di atasnya.

3)        Bhikkhu tidak diperkenankan duduk satu tempat duduk yang panjang bersama dengan seorang wanita atau orang lain yang memiliki kelainan seksual.
Tempat duduk panjang yang dimaksud adalah bangku panjang yang bisa diduduki paling tidak dua orang. Bisa saja bangku tersebut merupakan potongan kayu atau terbuat dari batu, atau bahan bangunan lainnya yang sengaja dibangun dan dapat digunakan sebagai tempat duduk. Temapt duduk tersebut juga bisa berada di taman, pinggir jalan, atau tempat-tempat lainnya.
Seorang bhikkhu yang hendak duduk di tempat duduk panjang tersebut, hendaknya memperhatikan peraturan ini. Para bhikkhu tidak pantas duduk dalam satu tempat duduk bersama dengan wanita atau orang yang memiliki kelainan seksual. Namun demikian, bhikkhu boleh duduk satu tempat duduk bersama dengan laki-laki normal meskipun laki-laki tersebut bukanlah seorang bhikkhu.

4)        Jika seorang bhikkhu junior sedang makan, bhikkhu senior tidak boleh membuatnya pindah dari tempat duduknya.
Jika para bhikkhu sedang menyantap makanan, kemudian seorang bhikkhu senior datang, biasanya para bhikkhu junior akan mempersilahkan bhikkhu senior untuk duduk ditempat yang sesuai. Hal tersebut membuat bhikkhu junior harus bangkit dari tempat duduknya. Melihat hal itu, bhikkhu senior hendaknya mempersilahkan bhikkhu junior untuk melanjutkan makan makanannya dan tidak perlu bangkit dari duduknya. Bhikkhu senior tersebut kemudian dapat mengambil tempat duduk lain yang masih kosong. Namun demikian, jika bhikkhu senior ingin duduk di tempat duduk yang memang semestinya ia duduk, maka bhikkhu junior harus segera bangkit dari duduknya dan memberikan tempat duduk tersebut kepada bhikkhu senior yang datang.

5)        Jika seorang bhikkhu hendak istirahat pada siang hari, hendaknya menutup pintu kūṭi dengan baik.
Peraturan ini dibuat untuk menjaga bhikkhu yang sedang beristirahat di dalam tempat pribadinya, misalnya di dalam kūṭi. Selain itu tujuannya adalah agar jika ada orang lain datang atau sekadar lewat, maka orang tersebut tidak akan melihat bhikkhu yang bersangkutan dalam keadaan tidur. Dengan demikian, seorang bhikkhu yang hendak beristirahat hendaknya mencari tempat pribadi dan menutup pintunya. Jika tidak memungkinkan menutup pintu, tempat istirahat tersebut tetap harus dihalangi dengan suatu benda yang dapat digunakan untuk menutupi dirinya yang sedang beristirahat.

6)        Seorang bhikkhu tidak diperkenankan membuang secara sembarangan atau melempar sampah atau kotoran keluar dari kūṭi.
Seorang bhikkhu yang secara sembarangan melempar sampah atau kotoran keluar dari dinding atau kūṭi adalah seseorang yang memiliki perangai buruk. Hal tersebut dapat membuat lingkungan menjadi kotor dan tidak nyaman. Oleh karena itu, para bhikkhu hendaknya tidak membuang sampah atau kotoran sembarangan dan tetap menjaga lingkungan sekitarnya.

7)        Seorang bhikkhu tidak diperkenankan pergi untuk melihat atau mendengan pertunjukan musik, tari-tarian, dan nyanyi-nyanyian.
Para bhikkhu tidak pantas menyenangkan diri dengan menikmati berbagai macam hiburan. Hiburan-hiburan tersebut bisa saja berupa pertunjukan tari, nyanyian, musik, maupun hiburan lainnya. Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa para bhikkhu tidak diperkenankan memiliki tujuan untuk pergi ke suatu tempat untuk menghibur diri melalui hal-hal tersebut di atas.
Seorang bhikkhu tidak akan melanggar peraturan ini jika tidak memiliki niat atau tujuan untuk melihat tari-tarian, nyanyia, dan musik. Misalnya jika seorang bhikkhu diundang ke suatu upacara peresmian vihāra kemudian di tengah-tengah acara terdapat acara hiburan seperti nyanyian, tarian, atau musik. Dengan demikian jika bhikkhu tidak memiliki tujuan untuk menyenangkan diri dalam tarian, musik, amupun nyanyian, maka bhikkhu tersebut tidak melanggar peraturan ini.

8)        Seorang bhikkhu tidak diperkenankan membabarkan Dhamma dengan gaya dan intonasi yang dilagukan.
Para bhikkhu hendaknya tidak membabarkan Dhamma dengan cara dilagukan. Hal tersebut memungkinkan para bhikkhu menjadi salah ucap dalam membabarkan ajaran. Mungkin juga umat akan merasa senang hanya dengan lantunan atau intonasi cara bicara dari bhikkhu dan justru tidak mengerti esensi atau makna sebenarnya dari Dhamma yang disampaikan. Membabarkan Dhamma dengan menggunakan Dhamma sebagai bahan bercanda juga tidak diperkenankan. Hal tersebut mungkin dapat mendatangkan gelak tawa dari pendengar, tetapi tidak memberikan pemahaman secara benar.

9)        Para bhikkhu dilarang menyentuh atau memegang benda-benda yang tergolong anāmāsa.
Terdapat berbagai hal yang disebut sebagai anāmāsa, hal-hal yang tidak dapat disentuh atau dipegang oleh bhikkhu. Hal tersebut adalah:
·         Wanita, termasuk busana wanita, gambar atau foto wanita, bahkan binatang bergender betina;
·         Emas, perak, berlian, dan barang-barang berharga lainnya;
·         Berbagai jenis senjata yang biasa digunakan untuk melukai atau membunuh makhluk lain;
·         Perangkap atau jebakan seperti jaring ikan atau jebakan untuk menngkap hewan;
·         Semua jenis alat musik;
·         Biji-bijian atau buah yang masih berada di tanaman yang menghasilkan buah atau biji-bijian tersebut.

Para bhikkhu tidak pantas menyentuh hal-hal di atas karena akan menyebabkan bhikkhu dituduh memiliki perilaku yang buruk. Misalnya saja para bhikkhu tidak diperkenankan untuk bermain alat musik, oleh karena itu sebagai konsekuensinya semua jenis alat musik adalah anāmāsa bagi para bhikkhu.

Vidhivatta
Vidhivatta adalah tugas-tugas yang harus dilaksanakan sesuai dengan metode atau cara yang diberikan. Hal-hal yang termasuk dalam vidhivatta adalah:
1)        Metode menggunakan jubah
Para bhikkhu harus menggunakan jubah secara rapi. Hal ini seperti yang ditengkan dalam bab sebelumnya tentang alat-alat kebutuhan bhikkhu. Antaravāsaka hendaknya dipakai dengan cara melibat jubah dalam menutupi pusar hingga lutut namun tidak sampai menutup mata kaki. Jubah luar harus digunakan sesuai dengan tempat bhikkhu berada. Jika bhikkhu berada di tempat penduduk, maka jubah luar harus dikenakan menutupi kedua bahu. Sedangkan jika bhikkhu berada di dalam lingkungan vihāra atau sedang melakukan tugas-tugas vinaya dan Saṅgha, maka jubah luar digunakan dengan cara membuka bahu kanan.

2)        Metode melipat jubah
Jubah bhikkhu tidak boleh dilipat sembarangan. Jubah harus dilipat sedemikian rupa sehingga membuatnya tidak kusut dan tetap awet. Jubah bhikkhu hendaknya dilipat dengan menyatukan ujung jubah terlebih dahulu. Setelah itu melipat kembali maisng-maisng bagian pinggir ke tengah dan dilipat menjadi satu tumpukan yang rapi.

3)        Metode menyimpan mangkok
Mangkok tidak boleh ditaruh atau disimpan di sembarang tempat. Mangkok yang tidak memiliki tatakan kaki, harus disimpan di tempat yang aman atau di bawah kolong tempat tidur dengan cara meletakkan bagian mulut mangkok di bawah. Mangkok juga bisa disimpan dengan menggunakan tas mangkok.

4)        Metode membuka atau menutup jendela pada musim yang sesuai
Pada musim dingin, para bhikkhu hendaknya membuka jendela kūṭi pada pagi sampai sore hari dan menutupnya pada malam hari. Sedangkan pada musim panas, bhikkhu hendaknya menutup jendela pada pagi sampai sore hari dan membukanya pada petang hingga malam hari. Tujuan dari peraturan ini adalah untuk memberikan kenyamamn bagi para bhikkhu yang tidaggal di dalam kūṭi selama musim tersebut. Oleh karena itu perlu dimengerti bahwa dalam peraturan ini jendela hendaknya dibuka dan ditutup sesuai dengan kondisi iklim, dan tidak perlu membuka jendela terlau lebar.

5)        Metode mengipasi bhikkhu senior
Pada musim panas, bhikkhu senior bisa saja meminta bhikkhu junior untuk mengipasi dirinya. Cara untuk mengipasi bhikkhu senior adalah mengipasi bagian tubuh secara berurutan mulai dari kaki, badan, dan kepala masing-masing sebanyak satu kali kemudian mengulanginya lagi. Atau jika merasa sungkan atau tidak diminta, bhikkhu junior boleh mengipasi bagian kaki dan badan saja tanpa mengipasi kelapa dari bhikkhu senior tersebut.

6)        Metode para bhikkhu berjalan
Para bhikkhu yang hendak berjalan tidak diperkenankan untuk berjalan secara bergerombol. Mereka harus berjalan dengan membentuk satu barisan. Biasanya urutan berjalan tersebut juga menunjukkan urutan senioritas dari para bhikkhu. Jarak satu bhikkhu dengan bhikkhu lainnya paling tidak adalah sejarak dua lengan. Hal tersebut bertujuan agar memudahkan orang lain yang hendak lewat di antara barisan bhikkhu.

Tugas-tugas yang harus dilakukan sesuai dengan metode ini tidak disusun membentuk pola-pola tertentu. Biasanya vidhivatta ini juga diterapkan dengan cara yang berbeda. Hal tersebut memungkinkan para bhikkhu tidak melakukan tugas sesuai prosedur atau metode ini dan menggantinya dengan cara yang baru. Oleh karena itu, lama-kelamaan peraturan ini akan ditinggalkan sampai benar-benar hilang.

Referensi
Vajirañāṇavarorasa, Somdet Phra Mahā Samaṇa Chao Krom Phrayā. 1973. The Entrance to The Vinaya, Vinayamukha Volume Two. Bangkok: Mahāmakut Rājavidyālaya Press.


No comments:

Post a Comment