Wednesday, 11 June 2014

KOMUNITAS BUDDHIS

Sebelum agama Buddha muncul, pada waktu itu di India sebenarnya telah banyak sistem kepercayaan maupun aliran religius yang berkembang. Bahkan di dalam Brahmajala Sutta, Buddha menyebutkan terdapat enam puluh dua pandangan yang waktu itu berkembang di India. Dua di antara enam puluh dua pandangan tersebut, Brahmanisme dan Jainisme adalah dua aliran yang berkembang cukup pesat.

Semenjak Buddha membabarkan khotbah pertama, Dhammacakkapavattana Sutta, kepada lima orang petapa, semenjak itu pula agama Buddha mulai berkembang. Demikian juga dengan sistem kemasyarakatan dalam agama Buddha. Sedikit demi sedikit mulai terbentuk komunitas Buddhis.


Klasifikasi Komunitas Buddhis
Dalam agama Buddha, sistem kemasyarakatan Buddhis terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama biasa disebut sebagai pabbajjita, yaitu komunitas Buddhis yang meninggalkan kehidupan rumah tangga. Kelompok kedua adalah gharavāssa, yaitu komunitas Buddhis yang tetap hidup berumah tangga.

Kelompok pabbajjita adalah siswa-siswa Buddha yang menjalani kehidupan tidak berumah tangga. Kelompok ini terdiri dari empat macam, yaitu bhikkhu, bhikkhūṇi, sāmaṇera, dan sāmaṇeri. Seseorang yang memilih untuk menjadi pabbajjita tidak diperkenankan menikah, bekerja seperti umat awam. Fokus kegiatan para pabbajjita adalah sebagai praktisi Dhamma, pembimbing atau guru spiritual bagi umat awam, dan melatih diri secara bertahap untuk mencapai Nibbāna.

Kelompok gharavāssa terdiri dari upassaka dan upassika. Kelompok gharavāssa masih menjalankan kehidupan rumah tangga. Mereka yang hidup sebagai umat awam memiliki peran yang cukup penting bagi kelestarian Saṅgha. Karena dari para umat awam yang berbakti inilah, Saṅgha mendapatkan sokongan empat kebutuhan pokok.

Semua kelompok, baik pabbajjita dan gharavāssa, saling melengkapi dan menjalankan kewajiban masing-masing. Para pabbajjita adalah guru spiritual yang membimbing umat awam untuk selalu melakukan kebaikan dan mencegah umat awam melakukan kejahatan. Sedangkan umat awam menghormati para pabbajjita dengan cara yang pantas dan memberikan sokongan empat kebutuhan pokok kepada guru spiritualnya.

Gharavāssa
Untuk menjadi gharavāssa, seseorang hanya perlu menyatakan berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, serta bertekad menjadi pengikut awam. Jika ditinjau dari sejarahnya, upassaka pertama dalam masa Buddha Gotama adalah Tapussa dan Bhallika. Meskipun pada saat itu mereka hanya menyatakan berlindung kepada Buddha dan Dhamma. Upassika pertama adalah Sujata.

Di dalam banyak sutta, digambarkan mengenai banyak peristiwa seseorang yang bertekad menjadi siswa awam Buddha. Misalnya pernyataan dalam Sāleyyaka Sutta:

“Luar biasa, Guru Gotama! Luar biasa, Guru Gotama! Guru Gotama telah membuat Dhamma menjadi jelas dengan banyak cara, seakan-akan Beliau menegakkan kembali apa yang tadinya terbalik, mengungkapkan apa yang tadinya tersembunyi, menunjukkan jalan bagi orang yang tersesat, atau memberikan penerangan di dalam kegelapan untuk mereka yang mempunyai mata untuk melihat bentuk. Kami pergi pada Guru Gotama untuk perlindungan dan pada Dhamma dan pada Saṅgha para bhikkhu. Sejak hari ini biarlah Guru Gotama menerima kami sebagai umat yang telah pergi kepada Beliau untuk perlindungan sepanjang hidup kami.” (MN. 41).

Gharavāssa memiliki latihan moral dasar, yaitu pañcasīla. Pañcasīla adalah lima aturan moral alamiah yang hendaknya senantiasa dijaga oleh setiap orang. Terdiri dari tekad berlatih untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup, pencurian, tindak asusila, kata-kata bohong, dan mengkonsumsi hal-hal yang dapat melemahkan kesadaran.

Selain itu pada hari-hari tertentu, yaitu hari uposatha, biasanya umat awam juga melatih aṭṭhāsīla. Sīla ini adalah latihan khusus yang lebih tinggi dan membawa manfaat yang besar. Aṭṭhāsīla terdiri dari tekad untuk melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup, pencurian, hubungan seksual, kata-kata bohong, mengkonsumsi hal-hal yang dapat melemahkan kesadaran, makan setelah lewat tengah hari, nyanyian dan tarian serta pemakaian bunga-bungaan, dan duduk atau berbaring di tempat yang mewah.



Pabbajjita
Untuk menjadi pabbajjita memerlukan prosedur khusus. Tidak seperti gharavāssa, untuk menjadi pabbajjita, seseorang harus memenuhi berbagai macam prosedur. Misalnya prosedur penahbisan awal (pabbajjā) dan penahbisan tingkat lanjut (upasampadā).

Telah disebutkan di atas, bahwa pabbajjita terdiri dari bhikkhu, bhikkhūṇi, sāmaṇera, dan sāmaṇeri. Seorang umat awam yang berkeinginan untuk meninggalkan kehidupan berumah tangga, hendaknya memohon pabbajjā terlebih dahulu. Namun sebelum memperoleh penahbisan awal tersebut, umat awam ini harus memenuhi beberapa hal, misalnya tentang batasan usia, kondisi fisik, dan izin dari orang tua.

Seseorang yang memperoleh penahbisan awal, disebut sebagai sāmaṇera jika ia adalah laki-laki, dan sāmaṇeri jika ia adalah perempuan. Sāmaṇera atau sāmaṇeri terdiri dari dua kata, yaitu sāmaṇa yang berarti petapa pengikut Buddha, dan nara yang berarti anak laki-laki atau neri yang berarti anak perempuan. Dengan demikian, sāmaṇera atau sāmaṇeri berarti putra atau putri bimbingan para sāmaṇa.

Dalam sejarah perkembangan agama Buddha, pada masa Buddha Gotama, sāmaṇera pertama adalah Sāmaṇera Rahula. Rahula adalah putra dari Pangeran Sidharta dan Dewi Yasodhara. Rahula mendapatkan pabbajjā pada usia tujuh tahun dengan Y.M. Sariputta Thera sebagai upajjhāya dan Y.M. Mahā Moggalana sebagai achariya.

Pabbajjā harus dilaksanakan secara terbuka. Pabbajjā tidak dilakukan di tempat tersembunyi. Hal ini untuk menyangkal tuduhan bahwa para bhikkhu memaksa anak-anak untuk menjadi seorang sāmaṇa. Pelaksanaan pabbajjā cukup sederhana. Calon sāmaṇera harus mencukur rambut terlebih dahulu, kemudian mengucapkan kalimat permohonan untuk mendapatkan penahbisan awal. Setelah itu, bhikkhu penahbis akan memberikan wejangan dan objek meditasi berupa lima bagian tubuh, yaitu rambut kepala (kesā), rambut badan (lomā), kuku (nakhā), gigi (dantā), dan kulit (taco). Calon sāmaṇera mengulangi kelima bagian tubuh tersebut, dan para bhikkhu mengalungkan aṁsa sebagai tanda calon sāmaṇera untuk berganti pakaian awam menjadi jubah. Setelah memakai jubah, selanjutnya calon sāmaṇera memohon kepada bhikkhu penahbis dan guru pembimbing tuntunan tiga perlindungan dan sepuluh peraturan. Setelah hal itu selesai, maka pabbajjā pun dinyatakan selesai dan mereka resmi menjadi seorang sāmaṇera.

Seorang sāmaṇera menjalankan seratus macam peraturan. Peraturan tersebut terdiri dari sepuluh sīla, sepuluh nasanaṅga, lima daṇdakamma, dan tujuh puluh lima sekhiya. Peraturan tersebut adalah peraturan yang sifatnya wajib dijaga oleh seorang sāmaṅera. Selain itu, seorang sāmaṅera juga memakai jubah sama seperti seorang bhikkhu. Hanya saja jubah sāmaṇera tidak dilengkapi oleh saṅghati.

Seorang bhikkhu yang menjadi bhikkhu penahbis maupun guru pembimbing hendaknya telah mencapai sepuluh vāssa. Bhikkhu yang belum mencapai sepuluh vāssa tidak diperkenankan memberikan penahbisan awal kepada seorang umat awam untuk menjadi sāmaṇera. Jadi tidak sembarang bhikkhu dapat menahbiskan seseorang menjadi sāmaṇera.

Seseorang harus minimal berusia tujuh tahun untuk ditahbiskan menjadi sāmaṇera. Ia juga harus memiliki kondisi fisik yang sehat. Setelah menginjak usia dua puluh tahun, barulah seorang sāmaṇera dapat memperoleh penahbisan yang lebih tinggi (upasampadā) menjadi bhikkhu. Mengacu pada peristiwa penahbisan Rahula menjadi seorang sāmaṇera, Raja Sudhodana mengajukan saran kepada Buddha agar memberikan syarat tambahan. Sayarat tersebut adalah seseorang yang hendak ditahbiskan menjadi sāmaṇera haruslah menerima izin dari orang tua atau walinya terlebih dahulu. Buddha menyetujui syarat tambahan tersebut dan hal ini berlaku sampai zaman sekarang.


Referensi
Bhikkhu Ñānamoli dan Bhikkhu Bodhi. 2006. Majjhima Nikāya Kitab Suci Agama  Buddha Buku 3. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Wena Cintiawati dan lanny Anggawati. Klaten: Vihāra Bodhivaṁsa dan Wisma Dhammaguṇa.

No comments:

Post a Comment