Sebelum agama Buddha muncul, pada waktu
itu di India sebenarnya telah banyak sistem kepercayaan maupun aliran religius
yang berkembang. Bahkan di dalam Brahmajala
Sutta, Buddha menyebutkan terdapat enam puluh dua pandangan yang waktu itu
berkembang di India. Dua di antara enam puluh dua pandangan tersebut,
Brahmanisme dan Jainisme adalah dua aliran yang berkembang cukup pesat.
Semenjak Buddha membabarkan khotbah
pertama, Dhammacakkapavattana Sutta, kepada
lima orang petapa, semenjak itu pula agama Buddha mulai berkembang. Demikian
juga dengan sistem kemasyarakatan dalam agama Buddha. Sedikit demi sedikit
mulai terbentuk komunitas Buddhis.
Klasifikasi
Komunitas Buddhis
Dalam agama Buddha, sistem
kemasyarakatan Buddhis terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama biasa
disebut sebagai pabbajjita, yaitu
komunitas Buddhis yang meninggalkan kehidupan rumah tangga. Kelompok kedua
adalah gharavāssa, yaitu komunitas
Buddhis yang tetap hidup berumah tangga.
Kelompok pabbajjita adalah siswa-siswa Buddha yang menjalani kehidupan tidak
berumah tangga. Kelompok ini terdiri dari empat macam, yaitu bhikkhu, bhikkhūṇi, sāmaṇera, dan sāmaṇeri. Seseorang yang memilih untuk
menjadi pabbajjita tidak
diperkenankan menikah, bekerja seperti umat awam. Fokus kegiatan para pabbajjita adalah sebagai praktisi
Dhamma, pembimbing atau guru spiritual bagi umat awam, dan melatih diri secara
bertahap untuk mencapai Nibbāna.
Kelompok gharavāssa terdiri dari upassaka
dan upassika. Kelompok gharavāssa masih menjalankan kehidupan
rumah tangga. Mereka yang hidup sebagai umat awam memiliki peran yang cukup
penting bagi kelestarian Saṅgha. Karena dari para umat awam yang berbakti
inilah, Saṅgha mendapatkan sokongan empat kebutuhan pokok.
Semua kelompok, baik pabbajjita dan gharavāssa, saling melengkapi dan menjalankan kewajiban
masing-masing. Para pabbajjita adalah
guru spiritual yang membimbing umat awam untuk selalu melakukan kebaikan dan
mencegah umat awam melakukan kejahatan. Sedangkan umat awam menghormati para pabbajjita dengan cara yang pantas dan
memberikan sokongan empat kebutuhan pokok kepada guru spiritualnya.
Gharavāssa
Untuk menjadi gharavāssa, seseorang hanya perlu menyatakan berlindung kepada
Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, serta bertekad menjadi pengikut awam. Jika ditinjau
dari sejarahnya, upassaka pertama
dalam masa Buddha Gotama adalah Tapussa dan Bhallika. Meskipun pada saat itu
mereka hanya menyatakan berlindung kepada Buddha dan Dhamma. Upassika pertama adalah Sujata.
Di dalam banyak sutta, digambarkan mengenai banyak peristiwa seseorang yang
bertekad menjadi siswa awam Buddha. Misalnya pernyataan dalam Sāleyyaka Sutta:
“Luar
biasa, Guru Gotama! Luar biasa, Guru Gotama! Guru Gotama telah membuat Dhamma
menjadi jelas dengan banyak cara, seakan-akan Beliau menegakkan kembali apa
yang tadinya terbalik, mengungkapkan apa yang tadinya tersembunyi, menunjukkan
jalan bagi orang yang tersesat, atau memberikan penerangan di dalam kegelapan
untuk mereka yang mempunyai mata untuk melihat bentuk. Kami pergi pada Guru
Gotama untuk perlindungan dan pada Dhamma dan pada Saṅgha para bhikkhu. Sejak hari ini biarlah Guru
Gotama menerima kami sebagai umat yang telah pergi kepada Beliau untuk perlindungan
sepanjang hidup kami.” (MN. 41).
Gharavāssa
memiliki latihan moral dasar, yaitu pañcasīla.
Pañcasīla adalah lima aturan moral alamiah yang hendaknya senantiasa dijaga
oleh setiap orang. Terdiri dari tekad berlatih untuk menghindari pembunuhan
makhluk hidup, pencurian, tindak asusila, kata-kata bohong, dan mengkonsumsi
hal-hal yang dapat melemahkan kesadaran.
Selain itu pada hari-hari tertentu,
yaitu hari uposatha, biasanya umat
awam juga melatih aṭṭhāsīla. Sīla ini adalah latihan khusus yang
lebih tinggi dan membawa manfaat yang besar. Aṭṭhāsīla terdiri dari tekad untuk melatih diri menghindari
pembunuhan makhluk hidup, pencurian, hubungan seksual, kata-kata bohong, mengkonsumsi
hal-hal yang dapat melemahkan kesadaran, makan setelah lewat tengah hari,
nyanyian dan tarian serta pemakaian bunga-bungaan, dan duduk atau berbaring di
tempat yang mewah.
Pabbajjita
Untuk menjadi pabbajjita memerlukan prosedur khusus. Tidak seperti gharavāssa, untuk menjadi pabbajjita, seseorang harus memenuhi
berbagai macam prosedur. Misalnya prosedur penahbisan awal (pabbajjā) dan penahbisan tingkat lanjut
(upasampadā).
Telah disebutkan di atas, bahwa pabbajjita terdiri dari bhikkhu, bhikkhūṇi, sāmaṇera, dan sāmaṇeri. Seorang umat awam yang
berkeinginan untuk meninggalkan kehidupan berumah tangga, hendaknya memohon pabbajjā terlebih dahulu. Namun sebelum
memperoleh penahbisan awal tersebut, umat awam ini harus memenuhi beberapa hal,
misalnya tentang batasan usia, kondisi fisik, dan izin dari orang tua.
Seseorang yang memperoleh penahbisan
awal, disebut sebagai sāmaṇera jika
ia adalah laki-laki, dan sāmaṇeri
jika ia adalah perempuan. Sāmaṇera
atau sāmaṇeri terdiri dari dua kata,
yaitu sāmaṇa yang berarti petapa
pengikut Buddha, dan nara yang
berarti anak laki-laki atau neri yang
berarti anak perempuan. Dengan demikian, sāmaṇera
atau sāmaṇeri berarti putra atau
putri bimbingan para sāmaṇa.
Dalam sejarah perkembangan agama Buddha,
pada masa Buddha Gotama, sāmaṇera
pertama adalah Sāmaṇera Rahula. Rahula adalah putra dari Pangeran Sidharta dan
Dewi Yasodhara. Rahula mendapatkan pabbajjā
pada usia tujuh tahun dengan Y.M. Sariputta Thera sebagai upajjhāya dan Y.M. Mahā Moggalana sebagai achariya.
Pabbajjā
harus dilaksanakan secara terbuka. Pabbajjā
tidak dilakukan di tempat tersembunyi. Hal ini untuk menyangkal tuduhan
bahwa para bhikkhu memaksa anak-anak
untuk menjadi seorang sāmaṇa.
Pelaksanaan pabbajjā cukup sederhana.
Calon sāmaṇera harus mencukur rambut
terlebih dahulu, kemudian mengucapkan kalimat permohonan untuk mendapatkan
penahbisan awal. Setelah itu, bhikkhu penahbis
akan memberikan wejangan dan objek meditasi berupa lima bagian tubuh, yaitu
rambut kepala (kesā), rambut badan (lomā), kuku (nakhā), gigi (dantā), dan
kulit (taco). Calon sāmaṇera mengulangi kelima bagian tubuh
tersebut, dan para bhikkhu
mengalungkan aṁsa sebagai tanda calon
sāmaṇera untuk berganti pakaian awam
menjadi jubah. Setelah memakai jubah, selanjutnya calon sāmaṇera memohon kepada bhikkhu
penahbis dan guru pembimbing tuntunan tiga perlindungan dan sepuluh peraturan.
Setelah hal itu selesai, maka pabbajjā
pun dinyatakan selesai dan mereka resmi menjadi seorang sāmaṇera.
Seorang sāmaṇera menjalankan seratus macam peraturan. Peraturan tersebut
terdiri dari sepuluh sīla, sepuluh nasanaṅga, lima daṇdakamma, dan tujuh puluh lima sekhiya. Peraturan tersebut adalah peraturan yang sifatnya wajib
dijaga oleh seorang sāmaṅera. Selain
itu, seorang sāmaṅera juga memakai
jubah sama seperti seorang bhikkhu.
Hanya saja jubah sāmaṇera tidak
dilengkapi oleh saṅghati.
Seorang bhikkhu yang menjadi bhikkhu
penahbis maupun guru pembimbing hendaknya telah mencapai sepuluh vāssa. Bhikkhu yang belum mencapai sepuluh vāssa tidak diperkenankan memberikan penahbisan awal kepada seorang
umat awam untuk menjadi sāmaṇera.
Jadi tidak sembarang bhikkhu dapat
menahbiskan seseorang menjadi sāmaṇera.
Seseorang harus minimal berusia tujuh
tahun untuk ditahbiskan menjadi sāmaṇera.
Ia juga harus memiliki kondisi fisik yang sehat. Setelah menginjak usia dua
puluh tahun, barulah seorang sāmaṇera
dapat memperoleh penahbisan yang lebih tinggi (upasampadā) menjadi bhikkhu.
Mengacu pada peristiwa penahbisan Rahula menjadi seorang sāmaṇera, Raja Sudhodana mengajukan saran kepada Buddha agar
memberikan syarat tambahan. Sayarat tersebut adalah seseorang yang hendak
ditahbiskan menjadi sāmaṇera haruslah
menerima izin dari orang tua atau walinya terlebih dahulu. Buddha menyetujui
syarat tambahan tersebut dan hal ini berlaku sampai zaman sekarang.
Referensi
Bhikkhu Ñānamoli dan
Bhikkhu Bodhi. 2006. Majjhima Nikāya
Kitab Suci Agama Buddha Buku 3.
Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Wena Cintiawati dan lanny Anggawati.
Klaten: Vihāra Bodhivaṁsa dan Wisma Dhammaguṇa.
No comments:
Post a Comment