Wednesday 16 April 2014

PERATURAN BHIKKHU TENTANG UPPATHAKIRIYĀ

Bhikkhu senantiasa harus menjaga hubungan baik dengan
umat awam melalui cara yang pantas.
Seorang yang telah mengambil jalan hidup tidak berumah-tangga hendaknya selalu menjaga perilakunya. Salah satu bagian yang memuat peraturan bagi bhikkhu, bhikkhūṇi, samaṇerā, dan samaṇeri untuk menjaga perilakunya adalah peraturan tentang uppathakiriyā. Peraturan tersebut berisi tentang perilaku-perilaku salah yang tidak pantas dilakukan oleh para pabbajjita.

Uppathakiriyā dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu anācāra, pāpasamācāra, dan anesanā. Anācāra berisi berbagai jenis perilaku salah dan segala macam permainan yang tidak pantas dilakukan. Pāpasamācāra adalah bagian yang berisi tentang berbagai macam perilaku rendah. Sedangkan anesanā adalah bagian yang memuat mata-pencaharian yang salah atau cara memperoleh kebutuhan yang salah.


Anācāra
1. Para bhikkhu tidak diperkenankan melakukan segala bentuk permainan.
Para bhikkhu tidak diperbolehkan terlibat dalam segala bentuk permaianan. Macam-macam permainan tersebut adalah permainan kekanak-kanakan, permainan yang mengandung unsur kasar, permainan dengan unsur pertaruhan, permainan dengan unsur penghancuran, dan segala permainan yang membuat suara gaduh. Permainan-permainan tersebut tidak layak dimainkan oleh bhikkhu.

Permainan kenak-kanakan yang dimaksud adalah permainan yang biasa dimainkan oleh anak-anak. Misalnya bermain boneka, mobil-mobilan, rumah-rumahan. Sedangkan permainan yang mengandung usnur kasar misalnya saja bergulat, tinju, atau perang-perangan. Permainan dengan unsur pertaruhan adalah permainan yang mengandung unsur kalah dan menang, misalnya permainan kartu, dadu, monopoli, dan tebak-tebakan. Permainan yang mengandung unsur penghancuran misalnya bermian bakar-bakaran, dalam Kanon Pāḷi disebutkan misalnya seperti membakar hutan untuk kesenangan. Permainan yang dapat membuat suara gaduh misalnya permainan yang meibatkan teriakan, atau nyanyian.

Segala bentuk permainan tersebut jika dimainkan oleh seorang bhikkhu akan menjadi dasar dari pelanggaran dukkata.

2. Para bhikkhu tidak diperkenankan untuk membuat kalung dari rangkaian bunga.
Peraturan ini tampaknya muncul berdasarkan kasus pembuatan kalung atau rangkaian bunga yang kemudian diberikan kepada seorang wanita. Seiring perkembangan zaman, hal tersebut akhirnya menjadi suatu tradisi bahwa para bhikkhu tidak diperbolehkan membuat rangkaian bunga. Dalam Kanon Pāḷi, dijelaskan terdapat enam jenis cara merangkai bunga, keenam cara tersebut adalah:
  • ganthimaṁ-- bunga yang dirangkai dengan menggunakan tempat tertentu,
  • gopphimaṁ-- bunga yang dirangkai dengan menggunakan benang,
  • vedhimaṁ-- bunga yang dirangkai dengan menggunakan bingkai,
  • vethimaṁ-- bunga yang dirangkai tangkainya kemudian diletakkan dalam satu bingkai,
  • purimaṁ-- bunga yang dirangkai melingkar menjadi kalung,
  • vāyimaṁ-- bunga yang dirangkai dalam beberapa kelompok dan terdapat jarak antara masing-masing kelompok.


Para bhikkhu tidak diperkenankan merangkai bunga dengan berbagai cara di atas yang tujuannya diberikan kepada seorang wanita ataupun untuk menarik hati umat awam. Tetapi jika bhikkhu hanya sekadar merangkai bunga yang akan dipersembahkan kepada cetya atau untuk diletakkan di pinggir tempat duduk pembabaran Dhamma tidak dikatakan melanggar.

3. Para bhikkhu tidak diperkenankan mempelajari hal-hal yang termasuk tiracchāna-vijjā.
Tiracchāna-vijjā adalah ilmu pengetahuan binatang. Hal tersebut lebih mengacu pada pengetahuan dalam praktik-praktik seorang dukun. Kanon Pāḷi memberikan penjelasan tiracchāna-vijjā adalah sebagai berikut:
  • pengetahuan asihan, yaitu ilmu yang membuat seorang wanita dan pria saling mencintai, misalnya ilmu pelet,
  • pengetahuan yang membuat seseorang mengalami bencana, misalnya ilmu santet,
  • pengetahuan memerintah makhluk halus untuk membuat hal-hal menjadi tampak ajaib,
  • pengetahuan meramal untuk meramal lotere,
  • pengetahuan yang membuat orang lain menjadi berkhayal, misalnya menganggap tembaga sebagai emas (ilmu gendam).


Pengetahuan di atas adalah termasuk tiracchāna-vijjā karena pengetahuan tersebut jika dipraktikkan oleh bhikkhu dapat saja menimbulkan keragu-raguan umat terhadap Buddhasāsana. Selain itu kemampuan tersebut dapat digunakan untuk menipu orang lain.

Pāpasamācāra
Pāpasamācāra adalah perilaku rendah. Hal-hal yang termasuk di dalam pāpasamācāra melibatkan hubungan bhikkhu dengan umat awam. Bhikkhu yang melakukan pāpasamācāra adalah bhikkhu yang dianggap sebagai koruptor keluarga.
1. Para bhikkhu tidak diperkenankan merayu keluarga dengan harapan keluarga tersebut akan memberikan banyak persembahan kepadanya.
Seorang bhikkhu tidak diperkenankan melakukan berbagai macam hal yang tergolong merayu keluarga umat awam dengan harapan bhikkhu tersebut akan mendapat banyak sokongan dari keluarga itu. Berbagai macam hal yang termasuk merayu adalah:
  • memberikan berbagai macam hadiah untuk keluarga umat awam,
  • membuat taman bunga atau merangkai bunga yang kemudian diberikan kepada keluarga umat awam,
  • menunjukkan sikap merayu atau mengucapkan kata-kata rayuan kepada keluarga umat awam, misalnya dengan menggendong anak kecil di keluarga umat awam tersebut,
  • melakukan pekerjaan umat awam untuk keluarga tersebut yang mana pekerjaan tersebut tidak berhubungan dengan kegiatan keagamaan,
  • bertindak sebagai dokter bagi keluarga umat awam tersebut,
  • menerima barang-barang yang dititipkan sementara yang mana barang tersebut tidak pantas disimpan, misalnya barang hasil curian.


Para bhikkhu yang melakukan berbagai hal di atas, melakukan pelanggaran dukkata. Namun terpisah dari jenis pelanggaran tersebut, Saṅgha juga akan memberikan hukuman melalui tiga cara, yaitu tajjanīya-kamma atau hukuman dengan menyalahkan perilaku bhikkhu, niyasa-kamma atau hukuman menggugurkan kewenangan bhikkhu, dan pabbājanīya-kamma atau hukuman dengan cara mengucilkan bhikkhu yang bersalah tersebut.

2. Para bhikkhu tidak diperkenankan membuat munculnya suatu konfilk pada satu keluarga umat awam.
Terdapat banyak perilaku yang dapat membuat suatu keluarga mengalami konflik. Perilaku-perilaku tersebut adalah:
  • mencoba menghancurkan pendapatan atau hasil pekerjaan suatu keluarga,
  • membuat bisang usaha atau pekerjaan suatu keluarga menjadi mundur atau mengalami kebangkrutan,
  • membuat ssuatu keluarga umat awam terusir dari tempat tinggalnya,
  • memaki atau menghina maupun menyindir untuk menghancurkan reputasi keluarga umat awam,
  • menghasut anggota keluarga yang membuat mereka tidak rukun satu sama lain,
  • berkata kasar kepada keluarga umat awam seolah-olah keluarga tersebut adalah orang hina,
  • menerima undangan yang layak dari umat awam, tetapi kemudian bersikap tanpa pengendalian diri ketika berada di tempat umat awam tersebut.


Para bhikkhu yang berusaha untuk menghancurkan keluarga sehingga membuat suatu keluarga umat awam mengalami penderitaan juga termasuk melakukan pāpasamācāra. Jika bhikkhu melakukan hal-hal di atas, maka bhikkhu tersebut terkena dukkata. Namun demikian Saṅgha juga akan memberikan hukuman yang terpisah, yaitu paṭisāraṇīya-kamma atau hukuman yang membuat bhikkhu yang bersalah dapat merenungi kesalahannya dan meminta maaf kepada keluarga umat awam yang bersangkutan.

Bagian pāpasamācāra ini memang bertujuan untuk menjaga perilaku bhikkhu dalam menjaga hubungan dengan umat awam. Seorang bhikkhu yang tidak taat terhadap Vinaya mungkin saja merendahkan martabatnya sendiri dan merayu keluarga umat awam untuk memberikan sokongan kepadanya. Sebaliknya, bhikkhu yang melaksanakan Vinaya secara membabi-buta akan tidak mau menolong umat awam. Dengan demikian hendaknya seorang bhikkhu dapat memposisikan diri secara bijaksana dalam melaksanakan Vinaya.

Seorang bhikkhu yang sempurna dalam tindak tanduknya tidak akan merendahkan diri sendiri untuk menjadi akrab dengan keluarga dalam cara yang sama seperti orang rendahan melakukannya. Bhikkhu tersebut juga tidak akan bersikap destruktif, tetapi menunjukkan hati penuh dengan kasih sayang dan bertingkah laku dalam cara-cara yang moderat. Hal tersebut menyebabkan adanya kepercayaan serta rasa hormat yang timbul dalam diri keluarga umat awam terhadap bhikkhu.

Anesanā
Anesanā adalah bagian terakhir dari uppathakiriyā. Bagian ini memuat tentang cara-cara salah yang mungkin dilakukan oleh para bhikkhu dalam memperoleh kebutuhan hidupnya. Para bhikkhu tidak pantas melakukan cara-cara yang salah untuk memperoleh kebutuhan. Cara-cara yang salah tersebut dikelompokkan menjadi dua, yaitu salah secara alamiah (lokavajja) dan salah secara peraturan bhikkhu (paññātivajja).

1. Para bhikkhu tidak deperkenankan mencari kebutuhan hidup dengan cara yang salah secara alamiah (lokavajja).
Mencari kebutuhan hidup dengan cara yang salah secara alamiah yang dimaksud di sini adalah mata pencaharian yang memang salah menurut sifatnya. Misalnya saja memperoleh kebutuhan dengan cara mencuri, merampok, atau menipu orang lain. Cara-cara tersebut adalah salah secara alamiah. Seorang bhikkhu tidak diperkenankan memperoleh kebutuhan hidupnya melalui cara ini.

2. Para bhikkhu tidak diperkenankan mencari kebutuhan hidup dengan cara yang tidak sesuai dengan peraturan hidup bhikkhu (paññātivajja).
Seorang bhikkhu bukan lagi seorang yang dapat melakukan berbagai macam pekerjaan seperti umat awam. Bhikkhu tidak dapat secara sembarangan bekerja untuk memperoleh kebutuhan hidup. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, para bhikkhu bergantung dari persembahan yang diberikan oleh umat yang berkeyakinan.

Terdapat praktik-praktik salah yang seharusnya tidak dilakukan oleh para bhikkhu dalam memperoleh kebutuhan hidup. Praktik-praktik tersebut adalah:
  • meminta kebutuhan hidup kepada umat awam yang tidak melakukan pavāraṇā padahal umat tersebut bukan sanak-saudara bhikkhu yang bersangkutan,
  • memberi sesuatu kepada umat awam dan mengharapkan umat awam tersebut akan memberikan kebutuhan hidup bagi bhikkhu yang bersangkutan,
  • menggunakan uang atau benda berharga sebagai investasi atau melibatkan diri dalam perdagangan,
  • membuat obat dengan harapan dapat memperoleh pendapatan untuk kebutuhan hidupnya melalui pemberian obat tersebut kepada umat awam,
  • membaca paritta dengan tujuan untuk mendapatkan sokongan kebutuhan hidup dari umat awam.


Jika seorang bhikkhu melaksanakan praktik-praktik tersebut, maka bhikkhu itu adalah bhikkhu yang melakukan mata pencaharian yang salah dalam memperoleh kebutuhan hidupnya.

Seorang bhikkhu yang hidup dari sokongan umat hendaknya dapat mempraktikkan mata pencaharian yang benar. Para bhikkhu dalam mendapatkan kebutuhan pokok bisa saja melaksanakan pindapata. Cara yang lain bisa saja menerima persembahan dari umat awam yang memiliki keyakinan dan berniat menyokong hidup para bhikkhu.

Para bhikkhu yang diminta untuk membabarkan Dhamma atau membaca paritta hendaknya juga tidak memiliki tujuan untuk memperoleh kebutuhan hidup. Pembabaran Dhamma dan pembacaan paritta hendaknya dilakukan dengan niat untuk membantu umat awam memahami kebenaran dan disertai dengan mettā maupun karena belas kasih. Namun jika umat awam tersebut kemudian memberikan persembahan kepada bhikkhu yang bersangkutan, maka bhikkhu itu harus tau bagaimana cara menggunakannya secara pantas dan tetap memiliki pengendalian diri. Dengan cara demikian, para bhikkhu dapat tetap melaksanakan samma-ajīva atau penghidupan yang benar sesuai dengan ajaran Buddha.

Referensi
Vajirañāṇavarorasa, Somdet Phra Mahā Samaṇa Chao Krom Phrayā. 1973. The Entrance to The Vinaya, Vinayamukha Volume Two. Bangkok: Mahāmakut Rājavidyālaya Press.

No comments:

Post a Comment