Wednesday 28 May 2014

SĪMĀ (Baddha Sīmā)

Buddha memperkenankan Saṅgha untuk melakukan kegiatan-kegiatan khusus seperti pelaksanaan uposatha, pavārana, dan kegiatan saṅghakamma lainnya di tempat khusus yang disebut sebagai sīmā. Secara makna kata, sīmā berarti garis batas. Garis batas ini membentuk suatu bidang tertentu yang menjadi patokan bahwa para bhikkhu dapat dikatakan tinggal bersama. Garis batas (sīmā) terdiri dari dua jenis, yaitu baddha sīmā yang mana lebih dikenal sebagai garis batas yang dibentuk oleh Saṅgha dan bersifat tetap, dan abaddha sīmā yang merupakan garis batas tidak tetap karena ditetapkan oleh pemerintah atau pejabat-pejabat sipil. Pada bagian selanjutnya, materi ini akan membahas mengenai baddha sīmā.

Area dari Baddha Sīmā
Buddha memperkenankan Saṅgha untuk menetapkan suatu wilayah menjadi sebuah sīmā. Tetapi penetapan wilayah tersebut memiliki batas minimal dan batas maksimal dalam hal ukuran. Adapun batas ukuran minimal sebuah sīmā adalah harus mampu menampung sebanyak dua puluh satu orang bhikkhu. Sedangkan batasan maksimal sebuah sīmā adalah seluas tiga yojana. Sīmā yang lebih kecil atau lebih besar dari batas ukuran tersebut tidak dapat digunakan untuk melaksanakan kegiatan Saṅgha.


Sīmā yang tidak dapat menampung sebanyak dua puluh satu orang bhikkhu tidak dapat digunakan. Hal ini dapat dimengerti karena pelaksanaan saṅghakamma yang mana paling banyak membutuhkan jumlah bhikkhu yang hadir adalah sebanyak dua puluh orang bhikkhu. Saṅghakamma tersebut berkenaan dengan penyelesaian pelanggaran saṅghādisesa. Dengan demikian, dua puluh bhikkhu adalah bhikkhu sebagai penerima pengakuan dan satu orang bhikkhu yang melanggar saṅghādisesa dengan total berarti ada dua puluh satu bhikkhu dalam sebuah sīmā.

Sīmā yang lebih luas dari tiga yojana juga tidak dapat digunakan untuk melakukan saṅghakamma.Hal tersebut dapat dimengerti bahwa daerah yang terlalu luas akan membatasi jarak pandang dan pendengaran. Oleh karena itu, sīmā yang luasnya melebihi tiga yojana tidak diperkenankan oleh Buddha.

Area atau wilayah yang digunakan untuk membuat sīmāharuslah daerah yang bebas dari hak kepemilikan orang lain. Setelah daerah tersebut benar-benar daerah yang tidak diklaim sebagai milik seseorang, maka Saṅgha baru dapat menetapkan wilayah tersebut sebagai sīmā sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.

Nimitta(Tanda Batas)
Sebuah sīmā haruslah memiliki tanda batas. Buddha memperkenankan daerah sima dibatasi dengan sesuatu hal yang disebut sebagai nimitta atau tanda batas. Dalam naskah Pāḷi, dapat diketahui terdapat delapan jenis tanda batas yang dapat digunakan, yaitu bukit, batu karang, hutan belukar, pohon-pohon besar, bukit sarang semut, jalan setapak, sungai, genangan air seperti danau. Dari berbagai jenis nimitta tersebut dapat diketahui bahwa pada zaman dahulu sīmā bisa saja merupakan daerah yang luas.

Jumlah nimitta yang dapat digunakan sebagai tanda batas sīmā minimal berjumlah tiga buah. Hal ini dapat dimengerti bahwa jika nimitta berjumlah kurang dari tiga nimitta maka tidak dapat membentuk sebuah bidang sīmā. Namun, nimitta tidak dibatasi dalam jumlah maksimalnya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa bidang sīmā paling tidak akan membentuk sebuah bidang segitiga.

Penetapan Sīmā
Sebelum suatu wilayah ditetapkan sebagai sīmā, para bhikkhu akan membacakan pembatalan sīmā terlebih dahulu. Hal ini disebabkan bahwa masih ada kemungkingan daerah tersebut telah ditetapkan sebagai sīmā pada masa lampau namun sekarang sudah tidak diketahui batas-batasnya. Terdapat suatu aturan bahwa sīmā tidak dapat bertumpang tindih, dengan demikian, adalah suatu kebiasaan bahwa sebelum mengukuhkan suatu wilayah menjadisīmā, para bhikkhu justru membacakan pembatalan sīmā di wilayah tersebut.

Setelah pembatalan wilayah selesai dilakukan dengan semua bagian dalam wilayah tersebut, maka barulah para bhikkhu mengukuhkan tempat tersebut sebagai sīmā diawali dengan menunjukkan nimitta wilayah tersebut. Setelah itu pengukuhan sīmā dilakukan dengan membacakan kalimat pembentukan sīmā. Suatu hal yang perlu diketahui bahwa dalam pembatalan dan pengukuhan wilayah untuk menjadi sīmā, para bhikkhu harus memenuhi semua wilayah yang akan digunakan. Jarak antara satu bhikkhu dengan bhikkhu lainnya tidak boleh melewati satu lengan. Jika jumlah bhikkhu tidak sepadan dengan luas sīmā, maka pembacaan pengukuhan sīmā harus diulang terus menerus sembari berpindah dari satu petak ke petak selanjutnya sampai semua daerah sīmā selesai dikukuhkan.

Semua aktivitas pembatalan wilayah sīmā, penunjukkan nimitta,dan pengukuhan sīmā harus berlangsung di dalam wilayah sīmā. Oleh karena ituselama pembacaan pembatalan, penunjukkan nimitta, dan pengukuhan wilayah menjadi suatu sīmā, tidak diperkenankan orang lain yang bukan bhikkhu untuk berada di wilayah tersebut. Bahkan jika ada bhikkhu yang terlambat datang pada saat pembacaan pengukuhan sīmā dimulai, maka bhikkhu tersebut tidak diperkenankan memasuki wilayah. Hal ini dikarenakan wilayah sīmā harus selesai ditetapkan pada satu waktu yang sama pada hari itu juga. Jika hal itu tidak dilakukan, maka penetapan sīmā akan menjadi cacat, demikian pula sīmā yang digunakan juga menjadi tidak sempurna. Hal ini jika dibiarkan akan berimbas kepada semua aktivitas saṅghakamma yang dilakukan dalam sīmā tersebut menjadi saṅghakamma yang cacat. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa pembentukan sīmā haruslah sempurna dan tidak memiliki celah kesalahan sedikitpun.

Pada zaman sekarang, baddha sīmā memiliki tiga jenis. Ketiga jenis tersebut adalah kaṇḍasīmā, mahāsīmā, dan gabungan dari kedua bagian sīmā tersebut. Kaṇḍasīmā merupakan sīmā dalam bentuk ruangan uposatha atau biasa disebut sebagai uposathagāra. Di Indonesia, kaṇḍasīmā ini dapat ditemukan misalnya di Vihāra Jakarta Dhammacakka Jaya dan Vihāra Padepokan Dhammadīpa Ārāma. Sedangkan mahāsīmā adalah suatu wilayah vihāra yang juga merupakan sīmā.Sīmā yang terdiri dari gabungan kaṇḍasīmā dan mahāsīmā berarti dalam satu wilayah terdapat dua sīmā yang bergabung menjadi satu dengan wilayah kaṇḍasīmā di dalam mahāsīmā.

Di dalam Mahāvagga juga disebutkan satu jenis sīmā, yaitu nadīpārasīmā. Bentuk sīmā tersebut adalah sīmā yang terbelah di tengah oleh sebuah sungai. Dengan demikian sīmā ini memiliki wilayah yang terpisah oleh sungai.Nadīpārasīmā ini merupakan perkenan khusus bagi daerah yang mana dilalui perahu secara rutin atau jembatan. Dengan demikian bagian satu dengan bagian yang lainnya masih dapat terhubung. Pada zaman sekarang, agaknya sīmā jenis ini sudah tidak ditemukan lagi. Oleh karena itu nadīpārasīmādi sini disebutkan sebagai pelengkap saja.

Referensi
Vajirañāṇavarorasa, Somdet Phra Mahā Samaṇa Chao Krom Phrayā. 1973. The Entrance to The Vinaya, Vinayamukha Volume Three. Bangkok: Mahāmakut Rājavidyālaya Press.



No comments:

Post a Comment